Kisah Operasi Trikora: Pesawat Pak Harto Nyaris Ditembak Belanda! – HobbyMiliter.com. Pada saat operasi Trikora komando pembebasan Irian Barat digelar, sebuah pesawat transport Convair CV-340 nyaris disergap pesawat Neptune Belanda. Padahal di dalam pesawat yang sedang melakukan terbang patroli malam itu terdapat Panglima Komando Mandala Trikora, Mayjen Soeharto.
Di medan tempur yang makin memanas, keberadaan para panglima perang atau komandan tertinggi menjadi demikian penting karena sangat menentukan jalannya pertempuran. Para komandan tempur yang sukses memimpin anak buahnya selain menjadi tokoh kunci juga menjadi target utama pasukan musuh.
Untuk melindungi keberadaan dan mobilitas para panglima perang selain dijaga oleh pasukan terlatih juga didukung oleh informasi yang serba rahasia pada setiap sepak terjang para panglima perang. Tapi misi melindungi para panglima perang menjadi sangat riskan ketika mereka sedang melaksanakan mobilitas menggunakan pesawat terbang. Ingat dengan nasib Isoroku Yamamoto yang tewas disergap musuh dalam Operation Vengeance?
Ketika pecah konflik militer antara Indonesia dan Belanda untuk memperebutkan wilayah Irian Barat (Papua) pada tahun 1962, para pilot maskapai penerbangan Garuda turut dilibatkan dalam operasi militer untuk menerbangkan pesawat-pesawat transport. Sebelum melaksanakan tugas di medan tempur, mereka dilatih terlebih dahulu dengan latihan dasar militer dan selanjutkan mendapatkan pangkat perwira penerbang tituler.
Pesawat-pesawat transport yang diterbangkan oleh para pilot Garuda yang kemudian dikenal sebagai Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) itu antara lain C-47 Skytrain, DC-3 Dakota, dan Convair CV-340. Pesawat pesawat buatan Amerika Serikat inilah yang menjadi tulang punggung transportasi militer dalam Operasi Trikora.
Misi tempur yang harus dilaksanakan para pilot WG dan WG 011 di Operasi Trikora tidak selalu berjalan mulus, karena penerbangan mereka kerap dihadang cuaca buruk serta sergapan pesawat-pesawat tempur Belanda yang cukup canggih pada saat itu, Hawker Hunter Mk.6, Firefly AS-4, Neptune P2V-7 dan B-26 Invander.
Selain sergapan pesawat tempur, para pilot WG juga harus mampu menghindari radar Belanda yang telah dipasang di sejumlah strategis di kawasan Irian Barat. Guna menghindari pantauan radar dan sergapan radar serta cuaca buruk, pesawat kerap terbang di ketinggian rendah (tree top) di atas hutan lebat atau di atas perairan yang ganas. Demikian tinggi risiko yang harus dihadapi para awak WG dan WG 011, sehingga misi mereka sering disebut sebagai misi sekali jalan, one way ticket.
“Jadi sebagai pilot WG dan WG 011, kami memang sudah menandatangani surat untuk siap mati dalam misi mendukung operasi tempur TNI di Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat. Kami waktu itu memang masih muda dan memiliki semangat menyala-nyala. Sehingga perasaan takut sama sekali hilang, apalagi kami juga mendapat pelatihan militer dan merasa sangat percaya diri,” papar salah satu pilot WG, Captain Syafei.
Salah satu misi tempur menantang maut itu adalah penerbangan rahasia pesawat Convair-340 yang dipiloti Kapten Udara Pratowo Dirdjopranoto. Misi tempurnya adalah menerbangkan sejumlah pejabat Komando Mandala Siaga (Kolaga) Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat seperti Panglima Kolaga Mayjen Soeharto, Panglima AL Mandala Komodor Sudomo, Panglima AU Mandala Komodor Leo Wattimena, Kolonel Saleh Basarah yang saat itu menjabat Direktur Operasi Mabes AU, dan lainnya.
Markas komando Operasi Trikora di udara
Kapten Udara Pratowo rupanya tidak hanya menerbangkan Convair-340 sebagai pesawat transport belaka, melainkan merupakan pesawat yang sudah dimodifikasi menjadi pesawat komando. Modifikasi yang dilakukan tampak pada ruang kabin karena kursi-kursi penumpang antara lain kursi-kursi sudah dikeluarkan dan diganti meja-meja besar dengan tempelan yang menggambarkan peta kawasan Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya. Daerah Operasi Trikora.
Sejumlah perangkat komunikasi berupa headset dan mike tampak tergantung di pinggir meja. Kapten Pratowo sempat berjumpa dengan perwira Angkatan Udara yang bertanggung jawab terhadap modifikasi yang telah dilakukan dan dikenal sebagai Mayor Udara The Tjing Hoo. Saat itu The Tjing Hoo menjabat sebagai Asisten Direktorat Perhubungan dari Direktorat Navigasi dan Komuniasi TNI AU.
Diajuga merupakan seorang ahli teknik komunikasi radio dan navigator pesawat. The Tjing Hoo adalah seorang perwira Angkatan Udara yang pertama tama dikirim belajar ke luar negeri. Mayor The Tjing Hoo belajar navigasi di lembaga penerbangan TALOA, Amerika Serikat bersama generasi kedua pilot pilot AURI lainnya.
Pada Maret 1962, sekitar pukui 06.00 pagi, Kapten Pratowo bersama satu set crew Convair melapor ke Briefing Office Lanud Halim Perdanakusuma, karena akan melaksanakan misi penerbangan rahasia dalam rangka dukungan Operasi Trikora. Mereka dibriefing oleh seorang perwira menengah mengenai rute penerbangan yang akan ditempuh dan dijelaskan paling lambat pukul 15.00 WIT, Convair harus tiba di Lanud Pattimura, Ambon.
Kapten Pratowo dan rekannya kemudian menerima sejumlah surat dan sebuah amplop tertutup bertulisan “Rahasia”. Berdasar perintah yang disampaikan secara tegas dan keras, amplop tertutup hanya boleh dibuka setelah tiba dan dilaksanakan briefing di Pattimura.
Usai briefing, Pratowo dan kru lainnya segera melakukan persiapan terbang (flight operation) dan menuju ke Convair. Seorang perwira sempat menghampiri Pratowo dan sambil berbisik memberi tahu mengenai frekuensi apa saja yang ditambahkan pada sistem komunikasi radio VHF Convair.
Perwira itu menegaskan bahwa sistem komunikasi VHF yang dipasang bersifat sangat rahasia, sehingga membuat Pratowo takut mengetesnya. Apalagi kru lain yang notabene pasukan tempur sudah diperintahkan untuk merahasiakan perangkat komunikasi yang terpasang sehingga merupakan hal sulit bagi Pratowo untuk mencoba alat komunikasi bersangkutan tanpa ketahuan. Namun, tidak ditesnya perangkat ini kemudian menjadi sumber petaka.