Sebagai catatan, salah satu hasil Konfrensi Meja Bundar adalah penyerahan aset aset Angkatan Perang Hindia Belanda dan aset Angkatan Perang Belanda di Hindia Belanda kepada Indonesia. Selanjutnya korvet eks Belanda tersebut dinamakan RI Radjawali dengan Mayor John Lie sebagai komandan pertamanya.
Periode Perang Kemerdekaan memang telah berakhir selepas pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB. Namun walaupun begitu bukan berarti keamanan di Indonesia telah pulih. Pemberontakan demi pemberontakan meletus di mana-mana.
John Lie kemudian ditugaskan mendukung operasi keamanan di Maluku untuk menumpas pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dan memimpin Eskader ALRI. Tugas ini cukup menantang karena saat itu ALRI yang sebelum 1950 hanya berisi kapal kapal kecil yang beroperasi secara mandiri, mendadak harus mengoperasikan kapal kapal canggih eks Belanda dan beroperasi dalam satuan eskader.
Selepas melaksanakan tugas keamanan di Maluku, tahun 1952 ia dimutasi untuk menjabat sebagai Kepala Staf Operasi IV MBAL. Selanjutnya hingga tahun 1953, John Lie menjabat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya (KDMS).
Antara tahun 1953 hingga 1955 John Lie menjabat sebagai Komandan Dinas Angkutan ALRI (DAAL). Tahun 1955 John Lie menjabat sebagai Komandan Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD). Tahun berikutnya, 1956, John Lie menikah dengan Margaretha Angkuw, seorang Pendeta. Penugasannya di tingkat staf tidak lama, karena kemudian tahun 1957 ia kembali dipercaya memimpin kapal perang ALRI jenis perusak eks Belanda Hr. Ms. Tjerk Hiddes, yang dinamakan RI Gadjah Mada.
Saat menjabat sebagai Komandan Rl Gadjah Mada, John Lie melaksanakan tugas pemulihan keamanan ketika berlangsung pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Disini, pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel Laut. Pada Operasi 17 Agustus (ATF-17) menumpas PRRI di Sumatera Barat, Letkol John Lie menjabat sebagai Wakil Komandan I, sedangkan Komandannya adalah Kolonel Ahmad Yani.
Setelah sukses mematahkan perlawanan PRRI, John Lie ditugaskan untuk memimpin ATF-25 sebagai Komandan dan menggelar operasi keamanan menumpas Permesta di Sulawesi. John Lie memimpin penyerbuan kampung halamannya, Manado dan membebaskan Manado dari pasukan Permesta.
Saat menjabat sebagai Komandan ATF-25, ia melaksanakan Operasi Pukul untuk mematahkan perlawanan Permesta di Mena. Sukses menyelesaikan kedua operasi tersebut, selanjutnya ditugaskan mengikuti pendidikan di Defence Service Staff di Wellington College, India tahun 1958 hingga 1959.
Sekembali dari pendidikan, Beliau dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel Laut dan menjabat sebagai Kepala Inspektur Pengangkatan Kerangka Kapal di seluruh perairan Indonesia hingga tahun 1966. Saat menjabat sebagai Kepala Inspektur inilah, tahun 1961 John Lie pangkatnya kembali dinaikkan menjadi Komodor Laut (Bintang satu, setingkat Laksamana Pertama TNI saat ini) dan pada tahun 1964 menjadi Laksamana Muda TNI (Bintang dua).
Tahun 1966 Laksda John Lie mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma sesuai Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang “Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing” atau Keppres 240/1967 yang mengatur warga Tionghoa mengganti namanya menjadi nama Indonesia.
John Lie pensiun tahun 1967 dan selanjutnya banyak bergiat di kegiatan wiraswasta, sosial, dan keagamaan. John Lie (Jahja Daniel Dharma) wafat tanggal 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Tahun 1995 pemerintah menganugerahi (Alm) Laksda TNI (Purn) John Lie dengan penghargaan Bintang Mahaputra Utama. Dan salah satu kapal fregat ringan TNI AL di namai dengan nama KRI John Lie sebagai penghargaan atas jasa jasanya.