Pada tanggal 18 Februari 1828, saat Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, sang istri Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri dan diberi gelar Kanjeng Ratu Kedaton I. Pernikahan Pangeran Diponegoro keenam adalah dengan Raden Ayu Retnoningrum yang merupakan putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan yang ketujuh dengan Raden Ayu Retnaningsih seorang putri Bupati Jipang Kepadhangan yang bernama Raden Tumenggung Sumaprawira. Sementara pernikahannya yang kedelapan adalah dengan putri Kyai Guru Kasongan yang bernama R. A. Retna Kumala.
Pernikahannya yang terakhir adalah dengan perempuan asal dari Wajo, Makassar yang bernama lengkap Syarifah Fatimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akhbar. Istri kesembilan Pangeran Diponegoro merupakan putri Datuk Husain yang dimakamkan di Makassar.
Total keturunan Pangeran Diponegoro dari kesembilan pernikahannya tersebut berjumlah 12 putra dan 5 putri yang hidup tersebar di seluruh penjuru dunia, termasuk Jawa, Madura, Maluku, Sulawesi, Australia, Serbia, Belanda, Jerman, serta Arab Saudi.
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pemimpin perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung dari 1825 hingga 1830. Awal mulanya Pangeran Diponegoro memutuskan untuk berperang melawan Belanda adalah karena keputusan serta tindakan Belanda yang memasang patok di atas lahan miliknya di Desa Tegalrejo disertai dengan perlakuan pemerintah Belanda yang dianggap tidak menghargai adat istiadat setempat serta eksploitasi yang berlebihan pada rakyat dengan menetapkan pajak yang tinggi.
Dengan begitu bisa dikatakan tujuan Perang Diponegoro adalah untuk melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak pemerintah Belanda serta membebaskan istana dari madat. Berbeda dengan beberapa literatur yang ditulis Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro adalah akibat sakit hati dirinya ditolak menjadi raja oleh pemerintah Belanda, seperti yang diuraikan mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Wardiman Djojonegoro.
Perlawanan Pangeran Diponegoro ini dilakukan secara terbuka hingga mendapat dukungan serta simpati rakyat. Kemudian beliau menyingkir dari Tegalrejo serta membangun markas di Gua Selarong atas saran dari pamannya yaitu GPH Mangkubumi.
Pangeran Diponegoro menyebutkan perlawanan yang dilakukannya tersebut sebagai perang sabil yaitu perang melawan kaum kafir yang kemudian meluas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Medan pertempuran dari Perang Diponegoro itu sendiri meliputi Yogyakarta, Kedu, Surakarta, Bagelen, hingga beberapa daerah seperti Wonosobo, Banyumas, Weleri, Tegal, Pekalongan, Demak, Semarang, Purwodadi, Kudus, Magelang, Pacitan, Kediri, Parakan, Tuban, Brojonegoro serta Surabaya.
Pangeran Diponegoro membagi pasukannya menjadi beberapa batalyon dengan nama berbeda-beda serta diperlengkapi dengan senjata api dan peluru yang dibuat di hutan. Bersama para panglimanya, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya yang senantiasa berpindah-pindah. Pasukan Belanda seringkali menemukan markas Pangeran Diponegoro kosong saat menyerang, dan Pangeran Diponegoro beserta pasukan baru kembali ke Selarong setelah pasukan Belanda meninggalkan markas mereka.
Strategi lain yang dipakai para senopati Pangeran Diponegoro adalah dengan memakai kondisi alam sebagai senjata serta tameng pertahanan mereka yang tidak terkalahkan. Strategi tersebut melibatkan penyerangan besar-besaran saat bulan musim penghujan yang membuat pasukan Belanda terhambat. Selain itu ancaman kondisi alam lain adalah penyakit malaria, disentri dan lainnya yang diderita pasukan Belanda hingga melemahkan kondisi fisik serta mental dan moral mereka, bahkan bisa sampai merenggut nyawa.
Perlawanan sengit tersebut memaksa para gubernur pemerintah Belanda melakukan berbagai upaya agar bisa berunding serta melakukan gencatan senjata. Saat gencatan senjata terjadi, Belanda memanfaatkan situasi dan menyebar mata-mata serta provokator di desa serta kota guna memecah belah dan menghasut serta menekan para anggota keluarga pangeran dan pemimpin perjuangan pimpinan Pangeran Diponegoro.
Namun rakyat tidak bergeming dan tetap teguh memberikan dukungan serta simpati mereka. Terbukti dengan mudahnya Pangeran Diponegoro beserta pasukan untuk berpindah-pindah markas serta mendapat pasokan logistik. Hal tersebut juga didukung dengan kecepatan serta kelincahan disertai semangat perang Sabilillah pasukan pimpinan Pangeran Diponegoro tersebut.