Industri kedirgantaraan China sendiri sebetulnya sudah ada sejak era tahun 50-an. Mereka membeli lisensi produksi pesawat tempur MiG-15, MiG-17 dan MiG-19; Performa J-6, hasil lisensi MiG-19 buatan China di tangan Pakistan semasa perang India Pakistan pun dinilai pakistan lebih reliable dari pada MiG-19 original. Di Indonesia sendiri, yang menggunakan MiG-19 original, performanya dianggap buruk bahkan memakan cukup banyak korban pilot. Terutama karena kegagalan mesin dan afterburner.
Kemandirian dan reverse engineering terpaksa dilakukan sewaktu proses lisensi MiG-21. Awalnya Soviet setuju menjual lisensi MiG-21 ke China dan sudah mulai mengirim peralatan peralatan untuk fasilitas produksi. Namun, sebelum semuanya komplit, hubungan Uni Soviet dan China retak, bahkan pecah dan sempat pula terjadi perang perbatasan antara keduanya. Termasuk perang tanpa senjata api dengan gebug gebukan antar prajurit, sama seperti “perang” antara China dan India di pertengahan 2020 ini.
Karena itu, Soviet pun melakukan embargo ke China, menghentikan supply sparepart dan termasuk menghentikan proses alih teknologi MiG-21. China pun kemudian melancarkan operasi intelijen untuk mencari sampel MiG-21 dan mendapatkan sampel MiG-21 dari Mesir dan beberapa negara lainnya. Dari sampel yang didapat, di reverse engineering menjadi J-7. Namun proses tersebut memakan waktu puluhan tahun hingga Angkatan Udara PLA baru melakukan pesanan dalam jumlah banyak di tahun 80-an.