Potensi ekspor merupakan hal serius yang tengah digarap Jepang. Dengan banderol lebih murah ketimbang Poseidon (140 vs 250 juta dolar), Jepang berharap calon pembeli Poseidon yang diberatkan oleh faktor harga bisa menoleh dan mempertimbangkan P1. Soal kecanggihan, kita semua sudah tahu bahwa barang buatan Jepang tidak kalah dengan buatan adidaya AS. Tinggal tunggu saja apakah P1 bisa berbicara lebih banyak di kancah ekspor.
Sama-sama dibuat oleh negara yang berkepentingan pada keamanan di Samudera Pasifik, tak terhindarkan timbulnya komparasi antara P1 buatan Jepang dan P-8A Poseidon karya AS. Memang pada saat pengembangan purwarupa P1, Kementerian Pertahanan Jepang sempat mengevaluasi P1, P-8A dan Nimrod MRA4 ditinjau dari segi harga jual (flyaway price), ongkos operasi (operating cost), biaya pemeliharaan, penyiapan dan suku cadang selama operasi (supporting cost) sampai kemampuan operasi di lapangan.
Mengejutkan, meski secara ongkos operasional P-8A lebih rendah, P1 tetap dianggap paling seimbang antara harga dan kebutuhan pencapaian tuntutan misi bagi kebutuhan Jepang. Secara umum, para pengamat pun membandingkan keduanya dalam setidaknya lima aspek/fitur, baik yang bersifat global maupun spesifik.
Pertama, dari segi desain. P1 lebih bisa dikustomisasi untuk memenuhi kebutuhan patmar atau MPA karena merupakan desain benar-benar baru, bukan hasil modifikasi pesawat eksisting seperti P-8A (aslinya Boeing 737). Meski demikian, lantaran efisiensi dalam pengembangannya (paralel bersama C-2) harga jual utuh belum termasuk persenjataannya (tapi sudah termasuk semua sensor) diperkirakan sekitar 140 juta dolar, sementara P-8A sekitar 250 juta dolar.
Kedua, Kawasaki P1 bermesin 4, sementara P-8A bermesin dua. Meski lebih mahal biaya operasi per jamnya, jumlah mesin yang lebih banyak membuat tingkat redundansi dan keamanannya berlipat lebih tinggi ketimbang P-8A. Jika sampai ada satu mesin rusak, pada P1 masih ada 3 mesin (kehilangan daya 25%) sementara P-8A hanya tersisa 1 mesin (kehilangan daya 50%). Dalam situasi operasional ekstrem (cuaca buruk di ketinggian rendah) tentunya faktor ini amat penting.
Ketiga, P1 didesain mampu beroperasi dari landasan lebih pendek dibanding P-8A. Ini membuat P1 lebih leluasa digelar ke garis depan, ke pangkalan lebih kecil ketimbang P-8A. Jepang memang mematok P1 mampu mendarat di pulau-pulau terdepannya yang terpencil dengan landasan minim, baik untuk refueling maupun rearming. Dalam pesawatnya pun sudah dibuilt-in-kan alat alat yang bisa menunjang operasional mandiri dari landasan terpencil, diantaranya tangga pesawat dan APU (auxiliary power unit).
Keempat, P1 masih dilengkapi MAD (magnetic anomaly detector) untuk mendeteksi kapal selam selain perangkat sonobuoy. Seperti diketahui, benda dengan kan-dungan metal berukuran besar dan berbobot berat seperti kapal selam dapat menyebabkan anomali atau gangguan (disturbance) pada pola medan magnet bumi. MAD baru efektif kala pesawat pembawanya terbang amat rendah.
Profil misi P-8A yang terbang tinggi (meski masih bisa beroperasi di ketinggian rendah), membuat MAD dinilai kurang berguna sehingga dihilang-kan pada P-8A. Belakangan India yang memesan 8 unit P-8 dengan 4 opsi tambahan, disertai spesifikasi khusus sesuai kebutuhan dalam negerinya, memilih MAD tetap dipasang. Karena perbedaan yang cukup banyak itulah pesanan India diberi desainasi berbeda yaitu P-8I Neptune.
Kelima, P1 memiliki dimensi jendela yang besar sehingga memudahkan observasi secara visual atau istilahnya yang beken di Indonesia adalah darto (radar moto/pengli-hatan memakai mata). Berbeda dengan P-8A yang memiliki jendela persis seperti Boeing 737
Menilik fitur-fitur canggih P1, tak sedikityang bertanya mengapa AS di tengah situasi ekonomi sulit seperti sekarang ini, tak bekerja sama saja dengan Jepang untuk pengembangan berbagai piranti militer baru. Jawabannya tentu saja perkara gengsi maupun faktor kerahasiaan teknologi. Meskipun tak bisa dipungkiri, dari segi kecanggihan Jepang kerap mencuri start. Jika dalam 5 tahun mendatang kedua kapal perusak program 27DD Jepang siap operasional lengkap dengan high-caliber railgun dan laser point-defense system, berarti Jepang mendahului AS menggelar peralatan militer yang bersifat revolusioner.
Sesungguhnya bukan di situ saja. Tatkala jet tempur Mitsubishi F-2A/B yang merupakan karya Jepang berbasis penempur F-16C/D masuk dinas operasional AU Bela Diri Jepang tahun 2000, sejarah mencatatnya sebagai jet tempur pertama di dunia yang dilengkapi radar AESA. Radar J/APG-1 lansiran Mitsubishi Electric berteknologi AESA yang diusung Mitsubishi F-2 lebih dulu operasional ketimbang AN/APG-77 yang jadi andalan penempur siluman F-22 Raptor, yang baru dinyatakan operasional tahun 2005.
Indonesia, yang ketiga Boeing 737 Surveillance nya sudah berusia 30 tahun lebih, bisa mempertimbangkan Kawasaki P1 ini sebagai salah satu kandidat penggantinya. Pembelian pesawat baru merupakan pilihan yang realistis dibanding dengan terus memperpanjang umur airframe Boeing 737 MPA kita tersebut. Bagaimana menurut pembaca? (Jangan lupa isi form komentar dibawah).
paling klasik ya tak ada dana!
Ada duit triliunan tapi habis utk belanja pegawai, atau kalau jadi beli – barangnya yg ecek ecek