Kontrak produksi pertama mulai dianggarkan tahun 2008 untuk 4 pesawat. Sepasang pesawat produksi perdana yang kini sudah didesainasi P1 itu diserahkan pada 27 Maret 2013. Jadwal tersebut molor sekitar setahun untuk memperbaiki struktur pesawat akibat (lagi-lagi) ditemukannya keretakan. Hal ini sebetulnya masih terbilang wajar lantaran P1 merupakan desain yang benar-benar baru (clean sheet design) dengan kemampuan terbang terbilang ekstrem.
Kawasaki P1 dituntut mampu menukik dari ketinggian tinggi hingga ketinggian rendah sambil bermanuver tajam untuk meluncurkan senjata antikapal maupun antikapal selam. Kedua P1 pertama masuk ke jajaran Air Development and Test Wing di Gifu, menemani kedua purwarupa yang duluan masuk ke unit tersebut. Rencananya kedua P1 itu akan dipakai untuk penentuan standarisasi operasional, pengembangan taktik serta konversi tahap awal.
Mei di tahun yang sama, nyaris terjadi kecelakaan fatal. Tatkala terbang di ketinggian 33.000 kaki, mendadak keempat mesinnya mati dan pesawat mulai terjun bebas. Setelah awaknya mati-matian berupaya melakukan air-restart, mesin-mesinnya hidup kembali di ketinggian 26.500 kaki dan pesawat langsung diarahkan untuk mendarat darurat.
Belakangan diketahui penyebab utamanya adalah cacat perangkat lunak (software bug).
Perbaikan software otomatis menghambat produksi dan penyerahan pesawat berikutnya, sehingga pada Maret 2015 lalu baru 7 unit P1 yang beroperasi. Operator pertama P1 adalah 51 Kokutai (Air Wing) yang berpangkalan di NAS (naval air station) Atsugi.
Hati-hati dengan kesan pertama yang bisa menipu. Kesan sekilas yang muncul kala memandang sosok Kawasaki P1 adalah sosok-nya yang terlihat “kecil”, apalagi jika teringat sosok patmar lainnya P-8A Poseidon. Kesan itu ternyata salah total. Kala dijejerkan bersisian, kelihatan jelas bahwa dimensi keduanya kurang lebih sebanding. Kesan menipu itu ternyata diakibatkan dari dimensi jendela kokpit yang lebih besar daripada ukuran normal pada pesawat penumpang.
Secara bawah sadar kita terbiasa melihat rasio dimensi jendela pesawat penumpang dengan bodi pesawatnya, dalam ukuran standar. Hal ini pun terjadi pada pesawat pembom siluman (stealth bomber) B-2 Spirit. Dimensi windscreen-nya yang begitu besar seolah
mengerdilkan sosok keseluruhan B-2 yang sebetulnya sangat besar. Dimensi jendela kokpit yang besar membuat awak P1 lebih leluasa melakukan observasi visual. Meski dijejali beragam sensor canggih, observasi visual memang (seringnya) tetaplah diperlukan.
Ada 4 sensor andalan P1, yaitu radar, EO/IR, MAD dan sono-buoy. P1 dilengkapi radar pencari permukaan HPS-106 berteknologi AESA (active electronically scanned array) buatan Toshiba. Sapuan (coverage) melingkar menyeluruh alias 360 derajat didapat dengan penempatan planar array di depan (1 hadap depan, 2 hadap samping kiri-kanan) dan di belakang (bagian ekor, menghadap belakang). HPS-106 merupakan radar multimoda dengan kapabilitas singular beam, multi beam, multi array, SAR (synthetic apperture radar) dan ISAR (inverse synthetic apperture radar).
Di bagian perut, agak ke belakang, tertanam 30 tabung peluncur sonobuoy buatan Honeywell. Di bagian dalam pesawat terdapat rak khusus untuk tambahan 60 sonobuoy lagi. Perangkat ini terkoneksi dengan HQA-7 acoustic suites buatan NEC (Nihon Electric Company).
Di bagian belakang terdapat perangkat MAD (magnetic anomaly detector) yang menonjol memanjang (kelihatan seperti sengat) untuk mendeteksi kapal selam selain perangkat sonobuoy. Seperti diketahui, benda dengan kandungan metal berukuran besar dan berbobot berat seperti kapal selam dapat menyebabkan anomali atau gangguan (disturbance) pada pola medan magnet bumi. MAD andalan P1 adalah HSQ-102 buatan Mitsubishi Electric.
Sementara di bawah hidung terdapat kubah (turret) berisikan perangkat penjejak FLIR (forward looking infra red) dan EO (electro-optical) buatan Fujitsu. Perangkat sensor pasif ini terintegrasi dengan radar HPS-106. Imaji tangkapan keduanya bisa tersaji di layar peraga di kokpit. Perangkat ini amat vital dalam misi di malam hari. Untuk misi pengintaian, P-1 masih dibekali perangkat ESM (electronic support measures) HLR-109B lansiran Mitsubishi Electric yang mampu mendeteksi dan meloka-lisasi emisi sinyal dari lawan.
Soal taring, tak perlu diragukan. P1 memiliki 12 titik gantungan senjata, yaitu 8 titik di dalam ruang senjata di perut, dua titik di bawah sayap dan dua titik di pangkal sayap. Semuanya dapat mengakomidasi senjata yang kompatibel dengan buatan Amerika maupun NATO seperti rudal antikapal AGM-84 Harpoon/ Harpoon SLAM, rudal jelajah taktis SLAM-ER, rudal anti armor AGM-65 Maverick, torpedo Mk.46, ranjau antikapal, bom laut serta senjata buatan mandiri Jepang seperti rudal antikapal ASM-1, ASM-2 dan torpedo Type-97. Ke depannya, bukan tak mungkin P-1 disertifikasi untuk membawa bom berpemandu seperti SDB (small diamater bomb) maupun Paveway.
paling klasik ya tak ada dana!
Ada duit triliunan tapi habis utk belanja pegawai, atau kalau jadi beli – barangnya yg ecek ecek