Pukul 17.25 WIB Falcon 1 melihat sebuah F/A-18 dan terlibat manuver saling membelok. Falcon 1 berada di ekor F/A-18 Hornet tersebut. Falcon 2 segera mengambil posisi sebagai supporting fighter dan dikejar oleh F/A-18 yang lain. Falcon 2 mengambil inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) memberi tanda bahwa kedua F-16 kita tidak bermaksud mengancam.
Kemudian Falcon Flight Leader menjelaskan, F-16 TNI AU sedang melaksanakan patroli, bertugas melaksanakan identifikasi visual dan memberitahukan bahwa F/A-18 berada di wilayah udara Indonesia. Selanjutnya pesawat AL AS itu diperintahkan untuk kontak ke ATC setempat karena Bali Control sebagai penanggung jawab lalu lintas penerbangan di area tersebut tidak mengetahui status mereka.
Pukul 17.22 WIB Hornet pergi menjauh sedangkan Falcon Flight return to base ke Lanud Iswahjudi. Pukul 18.15 WIB Falcon Flight mendarat dengan selamat di Lanud Iswahjudi. Sementara Posek Hanudnas II tetap melanjutkan pengamatan diawasi penuh oleh Popunas. MCC Rai kemudian melaporkan kepada Popunas, setelah identifikasi visual dilakukan F-16 TNI AU, pesawat-pesawat F/A-18 tersebut selanjutnya mengadakan kontak ke ATC Rai sesuai yang diperintahkan oleh pilot F-16 TNI AU.
Di markas Makassarnya, Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II terus mengikuti jalan operasi identifikasi visual kedua F-16 yang diperintahkan menuju lokasi Bawean. TNI AU memperkirakan, konvoi kapal-kapal AS dengan kecepatan 20 knot akan sampai di sekitar Pulau Madura dan Kangean 12 jam kemudian.
Tepat seperti dugaan Jumat 4 Juli 2018 pagi sebagai tindak lanut TNI AU mengirim pesawat intai Boeing 737 Surveiller ke daerah tersebut. Dan benar saja pada pukul tujuh pagi pesawat pengintai menjumpai iringan kapal induk, sebuah kapal perusak dan dua kapal fregat menuju ke Selat Lombok (ALKI II).
Ketika Boeing 737 Surveiller menanyakan dari mana dan ke mana tujuan mereka, hanya mendapat jawaban: “We are in international waters….” Dalam pengintai ini, Boeing 737 TNI AU sempat memotret kapal induk USS Carl Vinson, kedua fregat, dan kapal perusak AS yang dikawal pesawat-pesawat Hornet tersebut.
Selama operasi pengintaian itu pesawat Boeing 737 Surveiller TNI AU terus dibayangi dua F/A 18 Hornet AL AS. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan nota “keberatan” secara diplomatik terhadap pemerintah AS.
Efek dari peristiwa insiden Bawean ini, Kapal Induk Amerika setiap melakukan pelayaran di laut teritorial Indonesia, tidak lagi menerbangkan pesawatnya tanpa ijin dan tanpa mengkontak ATC sebagai pengatur lalulintas udara. Contohnya, ketika US Navy menerjunkan 12 Seahawk dalam membantu penanganan korban gempa dan Tsunami Aceh.
Setiap pagi, selepas ke 12 Seahawk lepas landas mengangkut bantuan dari kapal induk ke daratan, kapal segera menjauh 70-80 mil ke laut lepas agar pesawat tempurnya dapat melakukan latihan penerbangan rutin tanpa harus melanggar batas teritorial Indonesia. Kemudian kembali ke dalam 12 mil laut teritorial Indonesia di sore hari untuk menjemput ke 12 Helikopter tersebut. Kedua F-16 tersebut sukses melakukan misinya, dan membawa dampak besar bagi pengakuan kedaulatan kita.
Indonesia harus memperkuat kemampuan perang elektronikanya. Jangan sampai dijamming seperti ini dan seperti waktu latihan gabungan TNI di NATUNA jaman SBY dulu, dimana komunikasi sempat mati beberapa jam.
Wuih, ternyata F-5 Tiger AU Singapura punya kemampuan serangan jarak jauh ya. Punya probe aerial refueling. Beda spek dengan F-5 Tiger kita. Dulu mengapa kita nda beli yang ber-aerial refueling ya? Kan beli F-5 dan beli Tanker ga beda jauh waktunya.
Tampaknya, kita lebih dahulu membeli F-5, baru kemudian membeli tanker. Kita membeli tanker untuk mendukung operasional A-4 Skyhawk kalau nda salah. 😀