Clark mendengar letupan keras disusul dengan asap hitam bersamaan roket menyala melontarkan kanopi, mengamankan jalan keluar kedua awaknya. Lalu terdengar ledakan keras lagi pada kokpit bagian belakang sewaktu kursi navigator terlontar keluar. Kemudian giliran kursi Clark. Wuzz!!
“Saya merasakan badan saya melekat semua bagiannya ke kursi. Saya dengar dan merasakan bergantian cartridge (roket) kursi menyala, kemudian drogue gun lalu terasa kursi saya berguling dan seketika sudah berada di luar pesawat. Ketika itu saya sadar betul dan bertanya pada diri sendiri: kapan ledakan-ledakan ini akan berakhir? Tiba-tiba ada keheningan, sama sekali tidak ada suara — saya tergelantung di udara dengan parasut,” Clark bercerita tentang pengalamannya eject dari pesawat tempur.
Setelah mengalami detik-detik menegangkan beberapa menit sebelumnya — Tornado-nya terkena rudal SAM, disambung dengan upaya menerbangkan pesawat lalu dilontarkan keluar dari kokpit — keheningan itu ibarat sebuah hadiah tak terduga dari alam.
Clark sempat melihat detik-detik akhir riwayat pesawatnya. Tornadonya meluncur memuntir tajam ke kiri sampai menghunjam bumi diiringi bunyi ledakan keras menggelegar. Api segera menyala dari bahan bakar tersisa dalam tangkinya. Asap pekat menghitam membumbung tinggi ke langit, disusul oleh rentetan ledakan-ledakan dari peluru kanon 27 mm akibat terpanggang jilatan panas api.
Sementara Clark yang melayang-layang di udara, mencoba memperkirakan dimana dia bakal mendarat. Tampaknya dia bakal mendarat di tempat yang kurang menguntungkan — dekat bangkai pesawatnya yang tengah membara. Ia masih teringat bahwa sebuah bom 1.000 pon masih menyantel di badan pesawat dan beberapa rudal Sidewinder belum dipergunakan. Bisa berbahaya. Sekeras tenaga dia menarik tali parasut dalam upaya mengendalikan parasut untuk menjauhi pendaratannya dari bangkai pesawat.
Sebelum mendarat, Clark masih sempat menyaksikan parasut navigatornya mendarat tidak jauh dari pesawat. Parasutnya kuncup tetapi tidak ada tanda-tanda Steve Hicks masih hidup. Rupanya Hicks tidak pernah sadar kembali sejak pesawat terkena ledakan rudal pertama.
Clark berhasil mendarat pada lokasi yang lebih menguntungkan, beberapa ratus yard dari pesawatnya yang tengah ganas dijilati kobaran api. Dia melepaskan harness parasut kemudian mulai menerapkan latihan survival yang pernah diperolehnya. Matanya dengan tajam coba menyorot-cari tempat persembunyian ideal sampai tim penyelamat tiba. Tapi sepanjang mata memandang, hanya hamparan gurun pasir yang dilihatnya dari segala penjuru. Si Pilot Inggris tersebut berusaha agar tidak jadi tawanan perang Irak.
Pilot Tornado Inggris Menjadi Tawanan Perang Irak
“Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Di selatan sedikit tampaknya seperti ada gunungan batu yang saya perkirakan cukup baik untuk bersembunyi. Saya ambil survival pack dan mulai berjalan ke arah itu. Paket survival terasa cukup berat dan setelah berjalan 200 meter, saya memutuskan untuk membuang dinghy (perahu karet)-nya. Tidak ada gunanya di padang pasir. Saya membuka paket itu hati-hati supaya tidak mengembungkan dinghy. Tapi tiba-tiba psssss… dinghy oranye itu mulai mengembungkan dirinya sendiri!”
Clark meninggalkan dinghy tersebut dan melanjutkan jalan “jogging-nya”. Dalam pikirannya melayang pertanyaan: apakah orang-orang Irak pada tuli dan buta? Masak mereka tidak melihat asap hitam pekat membumbung tinggi ke langit yang berasal dari Tornado-nya? Masak mereka tidak mendengar ledakan keras? Pilot Inggris tersebut akan berusaha agar jangan sampai jadi tawanan irak.
Tidak jauh dari bangkai pesawat terlihat parasut sang pilotnya. Dari sini, jelas terlihat jejak sepatu pilotnya sampai ke dinghy warna mencolok oranye terhampar di atas pasir gurun. Dari sini jejak-jejak itu mengarah ke pilot Inggris yang tengah berlari sekuat tenaga menjauhi lokasi jatuhnya pesawat sejauh kaki membawanya.
Kebebasan Rupert Clark berlangsung singkat, hanya sekitar seperempat jam. Seorang sipil yang dipersenjatai senapan bersepeda motor mengejarnya lalu menamatkan kebebasan Clark. Melihat dirinya tidak bisa melarikan diri, sang pilot Inggris tersebut pun mengangkat kedua tangannya dan menyerahkan diri untuk memulai menjadi “tamu istimewa” pemerintah Irak sebegai tawanan perang. (Sumber : Sky Battles karangan Alfred Price ‘St Valentine’s Day Shoot-Down’)
Data Spesifikasi Korban Panavia Tornado GR Mk. 1
Fungsi : Serang darat dan recon.
Mesin : Dua mesin turbofan Turbo-Union RB199 masing-masing dengan daya dorong 15.900 pon dengan afterburner.
Persenjataan : Berat maksimum senjata operasi yang sanggup dibawanya adalah seberat 10.300 pon dengan komposisi delapan bom 1.000 pon (dalam serangan dengan laser-guided bomb, pesawat menggotong dua atau tiga 1.000 pon LGB), dua kanon 27 mm buatan Mauser; dua AIM-9L Sidewinder infra-red homing missile untuk pertahanandiri.
Performance : Maksimum kecepatan dengan persenjataan lengkap terbang rendah adalab 680 mil per jam dan tanpa senjata lebih dari 1.450 mil/jam (Mach 2,2).
Maximum gross take-off weight : 60.000pon.
Ukuran : Bentang sayap penuh 45 kaki 7 inci; dengan sayapsayung penuh 28 kaki 2 inci; panjang badan 54 kaki 9,5 inci; luas sayap 323 kaki persegi.
Produksi pertama Tornado GR.1 : Juni 1979.