Tepat di atas troposfer adalah lapisan stratosfer, lapisan dengan ozon yang selama ini dikenal sebagai penyaring sinar ultraviolet, penyebab kanker kulit. Di atas stratosfer, semula ilmuwan menyangka tak banyak lagi dampak positif yang bisa diharapkan karena sudah begitu tak stabil komposisinya.
Keyakinan ini setidaknya bertahan hingga sekitar tahun 1970-an ketika Kasus Luxembourg yang terjadi pada 1933 terpecahkan. Kasus yang terjadi pada saat transmisi gelombang radio masih baru-barunya didayagunakan untuk berbagai kepentingan penyampaian informasi ini, tak lain merupakan titik pijak pemahaman orang atas manfaat ionosfer. Pada kasus ini, persisnya, para ahli fisika terheran-heran ketika menyimak siaran yang dipancarkan dari sebuah stasiun radio di Luxembourg terdengar hingga Beromunster, Swiss, dalam frekuensi yang berbeda.

Usut punya usut, fenomena ini temyata akibat ulah hamparan elektron tak stabil di ionosfer. Dalam hal ini serbuan energi dari gelombang elektromagnetik berdaya tinggi (high power) temyata bisa mengaktifkan elektron-elektron di ionosfer itu menjadi lapisan pemantul gelombang itu sendiri.
Ionosfer sendiri masih terbagi lagi menjadi empat lapisan, namun yang jelas dari lapisan inilah ilmuwan bisa memanfaatkannya sebagai pemantul gelombang radar – sebuah temuan yang baru efektif pada dekade 90-an, atau tepat pada saat banyak negara bingung tentang bagaimana cara melacak kehadiran senjata rahasia (siluman/stealth) yang mampu menyusup tanpa terlacak radar konvensional. Radar inilah yang kemudian dikenal sebagai Over the Horizon Radar.
Radar OTHR Jindalee Australia
Diutak-utik pertama kali oleh fisikawan Jerman Heinrich Hertz dan fisikawan Skotlandia James Clerk Maxwell pada tahun 1880-an, radar yang merupakan kepanjangan dari radio detecting and ranging mulai menjalani pengembangan serius sejak tahun 1930-an. Maxwell berhasil menyimpulkan bahwa gelombang radio bisa dipantulkan medium berupa metal, sementara Hertz sendiri untuk pertama kalinya berhasil menggenapkan temuan ini lewat eksperimen dengan panjang gelombang 66 sentimeter atau frekuensi 455 Megahertz. Hertz kemudian diabadikan sebagai satuan untuk satu siklus per detik.
Eksperimen berikutnya dilanjutkan oleh sejumlah ilmuwan dari sejumlah negara namun tak pernah mencapai hasil memuaskan, kecuali yang dilakukan fisikawan Jerman Christian Hulsmeyer yang merasa dipacu untuk kepentingan perang (pada masa Perang Dunia II). Tak berapa lama dari berbagai percobaan yang dilakukan pada masa ini, sejumlah ilmuwan kemudian berhasil mendayagunakan hasil temuannya untuk menjejak pesawat terbang. Juga untuk maksud dan kepentingan militer.
Dalam perkembangannya kemudian barulah diketahui bahwa pemanfaatannya amat efektif jika menggunakan gelombang spektrum mikro, yakni antara 400 Mhz hingga 40 Ghz. Pada prinsipnya, radar bekerja dengan cara mengirim gelombang dari selang frekuensi ini ke sebuah wilayah udara. Penjejakan akan berjalan efektif jika peralatan penerima menerima kembali sinyal yang tadi dikirim. Dengan menghitung waktu kembali dan sudut antena akan diketahuilah obyek yang terjejak. Belakangan peralatan ini bertambah maju saja dengan diciptakannya sistem tambahan yang bisa menghitung ukuran dan bentuk obyek yang terjejak.
Dg fakta adanya radar jindalee ini si australi dibikin gemes shg begitu byk memesan f-35. ini menandakan adanya kekuatan lebih di utara australia ini.
Itu klaim mereka. Jangan mudah percaya bang. Radar HF digunakan untuk mengamati pola arus dan permukaan air laut. Kalau dipancarkan ke atmosfer, jadinya Ionosonde. Bagaimanapun radar untuk tracking target menggunakan jalur L S E terus sampai K
Apakah tidak ada ya Mahasiswa indonesia yg tertarik meneliti Radar untuk mengendus pesawat siluman ?? Ataukah tidak tertarik mereka ikut andil mengamankan Negaranya dgn menciptakan mata yg jauh melihat (Radar jarak jauh) mengingat luas nya wilayh indonesia ??
Atau memang mereka sekarang sdh jadi generasi tiktok.
Kita bisa saja mengadopsi teknologi radar yang, katakanlah, sudah uzur umurnya. Karena kita sebetulnya memiliki peninggalan ini yang dibeli dari Uni Sovyet saat akan melakukan aksi perebutan Irian Jaya. Teknologi uzur ini bisa saja dikombinasikan dengan teknologi yang ada. Sekalipun mungkin belum yang tercanggih. Sebab…sebetulnya teknologi yang uzur tadi telah membuktikan kehandalannya ketika dalam konflik Serbia, di mana mereka dapat mendeteksi penyusupan pesawat siluman F-117A Nighthawk yang mereka dapat tembak jatuh. Tidak tanggung- tanggung : 3 biji!! (https://www.warhistoryonline.com/history/that-day-the-serbs-did-the-impossible-shot-down-an-f-117-nighthawk.html) “Sorry we didn’t know is was invisible”.
Sekalipun…dalam versi Amerika dikatakan agak lain, yaitu karena intelligen Serbia telah mendeteksinya saat mulai terbang dari Italia. (https://theaviationgeekclub.com/an-in-depth-analysis-of-how-serbs-were-able-to-shoot-down-an-f-117-stealth-fighter-during-operation-allied-force/).
Yang paling menggemaskan adalah brochure- brochure yang beredar setelah itu: “Sorry we didn’t know is was invisible”…. ha ha ha