Pada hari pertama operasi darurat militer di Aceh 2003, pasukan TNI diterjunkan dari udara dengan pesawat C-130 Hercules dengan dilindungi oleh pesawat tempur Hawk 209. Sementara itu segerombolan OV-10 Bronco melakukan serangan darat ke target target terpilih, dan kemudian melakukan misi Combat Air Support untuk melindungi pasukan para yang diterjunkan.
Pasukan kavaleri Marinir sedang beristirahat dengan tank amfibi PT-76nya. Tampak warga tetap melakukan aktifitas seperti biasanya. Dengan adanya pasukan marinir di desa mereka, mereka dapat merasa lebih aman dari gangguan keamanan yang sering dilakukan pasukan GAM.
Pasukan TNI dimasa itu masih diperlengkapi dengan senapan standar SS-1 buatan PT Pindad Bandung. SS-1 dimasa ini konon sering dikeluhkan oleh para penggunanya dengan keluhan larasnya cepat panas dan sering macet. Dari hasil pengalaman di Aceh ini, akhirnya PT Pindad merancang senapan serbu yang sama sekali baru, SS-2 yang kini menjadi standar TNI.
Pasukan TNI dimasa itu juga belum semuanya diperlengkapi dengan perangkat keamanan pribadi seperti rompi anti peluru. Tapi tidak lama setelah operasi berlangsung, rompi dengan pelat anti baja peluru depan dan belakang pun mulai dibagikan ke pasukan garis depan. Namun tentu saja, beratnya masih jauh lebih berat dari pada rompi keramik dan kevlar masa kini yang ‘ringan’.
TNI AL dan Korps Marinir menerapkan blokade laut di seluruh perairan Aceh untuk mencegah masuknya senjata ilegal dari Thailand dan Malaysia. Patroli laut dijalankan dengan terus menerus sehingga dapat mencegah penyelundupan senjata dan barang barang ilegal lainnya. Tampak RHIB marinir dan sebuah KRI FPB-57 TNI AL mengamankan perairan Aceh.
Selain melakukan operasi militer, TNI juga melakukan operasi teritorial. Setiap prajurit TNI diharapkan bisa mengambil hati rakyat Aceh dan memberikan rasa aman kepada setiap rakyat Aceh. Tampak seorang prajurit berada ditengah warga di sebuah desa dalam Operasi lawan GAM di Aceh ini.
Dari hasil operasi teritorial dan pendekatan ke warga, terkadang diperoleh informasi mengenai adanya anggota kelompok bersenjata GAM. Dan dengan pengembangan infomasi tersebut, sering dilakukan patroli penghadangan dan penangkapan anggota GAM. Keberhasilan operasi seperti ini seringkali diawali dengan adanya informasi dari rakyat kepada satgas intelijen. Hal ini menandakan adanya rasa aman dan percaya dari rakyat Aceh kepada TNI.
Dalam proses patroli perairan, pasukan Marinir TNI AL juga sering kali menemukan anggota GAM yang melakukan penyelundupan senjata maupun sedang bersembunyi di wilayah perairan, muara, rawa rawa dan tepi pantai di wilayah operasi Aceh. Tidak hanya melawan anggota GAM dan penyelundup. TNI juga melawan pembajak dan perompak yang beraksi di sekitar selat Malaka di perairan Aceh.
BTR-50 merupakan kendaraan tempur pasukan kavaleri Marinir TNI AL yang terbukti tangguh di segala medan. Walaupun memiliki cara keluar masuk pasukan yang rentan terhadap tembakan pendadakan musuh dari ketinggian, karena pintu palkanya berada di atas kendaraan, kendaraan yang dibeli tahun 1960-an ini tetap dicintai oleh Marinir.
Pada masa ini, TNI masih menggunakan kendaraan kendaraan tempur lawas hasil pembelian jaman orde lama, misalnya BTR-40 ini. Sebetulnya sih, hingga tahun 2019 ini, berpuluh puluh tahun setelah pembeliannya, berpuluh puluh tahun setelah awak pertama dari kendaraan tempur ini pensiun, kendaraan tempur lapis baja ini masih dipakai oleh TNI. Namun memang, sudah tidak menjadi alutsista lapis pertama lagi.
Jika Pindad saat itu melakukan reverse engineering terhadap VAB menjadi Anoa 6×6, kapan dilakukan reverse engineering terhadap anti-tank rocket launcher (LRAC F1, PF-98, RPG-7), ATGM (Javelin), MANPADS (Igla, Stinger, RBS-70), truk angkut personel, dll? Semoga kemandirian alutsista semakin meningkat.