Kisah Aksi Sabotase Prajurit Kopaska TNI AL di Johor Malaysia – HobbyMiliter.com. Memasuki tahun 1961, sebagai negara yang berusia muda Indonesia tengah terlibat perseteruan dengan pemerintah Belanda menyangkut masalah status tanah Papua. Kesal dengan sikap keras kepala Den Haag, di penghujung tahun 1961 Presiden Soekarno lantas mengumandangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Penjabarannya lewat Operasi Jayawijaya. Sayang, operasi yang mengerahkan sebagian besar kekuatan ABRI ini justru tidak jadi dilaksanakan karena berhasilnya jalur diplomasi.
Belum beres dengan Trikora, tokoh proklamator RI ini pun mempertentangkan negara Federasi Malaya yang dianggapnya semata bentukan Inggris dalam rangka proyek kolonialisme di Asia Tenggara. Isu yang diangkat ialah gerakan ‘kemerdekaan’ Negara Kalimantan Utara (NKU) yang digagas tokoh lokal Tengku Azahari. Selain itu juga digugat masalah pakta kerjasama militer antara Inggris dan Federasi Malaya. Lewat pakta ini, Inggris berhak memakai basis militer di Sembawang (Singapura) selama 99 tahun.
Guna mendukung NKU dan menandingi pakta militer Inggris-Federasi Malaya, Pak Karno kemudian mengumandangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 dalam rapat raksasa di Jakarta. Seperti halnya saat Trikora, Jakarta kembali mengirim ribuan ‘sukarelawan’ untuk dilibatkan dalam berbagai misi rahasia di wilayah perbatasan. Inti kekuatan pasukan sukarelawan ini sejatinya ialah personel ABRI. Salah satunya tentu saja Komando Pasukan Katak (Kopaska).
Jumlah personel Pasukan Katak Kopaska pasca Trikora sangat sedikit. Meski begitu, kondisi ini tak lantas menghalangi pimpinan ABRI untuk tetap melibatkan satuan kecil ini dalam seksi G-1/Intelijen Komando Operasi Tertinggi (KOTI) Dwikora. Agar kebutuhan personelnya dapat dipenuhi dalam tempo singkat meski situasi negara tengah genting, maka pada awal tahun 1963 di seluruh pangkalan TNI AL dibuka pendaftaran untuk menjadi personil pasukan katak.
Salah satu tamtama TNI AL yang ikut dalam pendadaran itu ialah Kopda Laut Soewarno yang berbasis di Stasion AL (Sional) Palembang. Di tengah kebosanan menjalani tugas rutin, ia terpikat pengumuman mencari sukarelawan untuk dididik menjadi pasukan katak. Dari ribuan pelamar, hanya ia beserta delapan personel TNI AL lain yang dinyatakan berhak mengikuti Sekolah Komando Chusus Sukarelawan (SKCS) di kawasan Cipulir, Jakarta Selatan. Sekolah ini memang sengaja didirikan dalam rangka ‘crash program‘ mencetak personel pasukan katak baru.
Infiltrasi Pasukan Katak Kopaska di Malaysia
Tak lama setelah lulus SKCS, pertengahan bulan Maret Soewarno dan kelima rekannya sesama anggota pasukan katak dikirim ke poskotis intelijen di Pulau Sekupang (Kepulauan Riau) guna bergabung dengan para seniornya. Lewat arahan seorang perwira intelijen TNI AL bernama Bambang Pratomo, dari sanalah satu demi satu personel Kopaska dikirim untuk melakukan misi rahasia berisiko tinggi jauh di dalam wilayah musuh. Tugas yang disampaikan Bambang Pratomo kepada para personel Kopaska selalu dalam bentuk lisan guna memperkecil risiko bocor ke tangan lawan.
Setelah beberapa orang pasukan katak diberangkatkan menembus wilayah lawan, akhirnya tiba giliran Kopda Laut Soewarno. Segala dokumen pendukung operasi untuknya telah disiapkan Badan Pusat Intelijen (BPI) di Jakarta. Termasuk juga KTP palsu kecamatan Pulau Lengkang (Riau) atas nama Junus bin Usman. Soewarno tak sendirian. Ia ditemani Serda Laut Prijatna DN yang memperoleh nama baru Soleh bin Amir. Keduanya berprofesi samaran sebagai penyelundup getah karet.
Tugas yang dibebankan pada kedua personel Kopaska terbilang cukup ‘edan’. Yakni menghancurkan pipa air di Gunung Muntaha (Johor). Instalasi ini amat vital karena memasok kebutuhan air minum bagi sebagian besar penduduk Federasi Malaya dan pulau Temasek (Singapura). Kopda Laut Soewarno sempat mengalami konflik batin berkenaan dengan tugasnya ini. Dia merasa bersalah seandainya misinya berhasil sukses, akan banyak rakyat sipil setempat yang menderita. Sementara sebagai prajurit komando pasukan katak, jelas haram menolak perintah betapa pun itu bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Agar samarannya sebagai penyelundup tampak sempurna, masing-masing dibekali perahu motor penuh bermuatan timah, getah karet dan arang. Di bawah tumpukan komoditi alam ini, sebenarnya tersimpan 500 kilogram bahan peledak guna dipakai dalam misi gila tersebut.