Selain itu juga ada sistem pengadaan yang dinamakan Direct Commercial Sales alias DCS. Dalam sistem DCS, negara pemesan berhubungan langsung ke pabrik. Namun, dalam sistem pembelian dengan skema DCS ini, biasanya banyak barang barang khusus militer yang tidak dapat dibeli selain melalui FMS.
Proses Pengadaan Alutsista TNI Merupakan Kewenangan Presiden
Selain dari AS, Indonesia juga cukup biasa menjadikan Rusia sebagai negara sumber pengadaan alutsista. Termasuk dari negara Cekoslovakia dan Polandia. Pengalaman Indonesia membeli alutsista dari Rusia dimulai sejak tahun 1950-an. Untuk AU, di antaranya pengadaan pesawat MiG-15 UTI, MiG-17, helikopter Mi-4, IL-14/AVIA, Bies TS-8 dan Super Aero.
Tahun 1960-1965, masuk lagi sejumlah alutsista. Antara lain MiG-19, MiG-21, Tu-16, heli Mi-6 dan lainnya. Ditambah peluru kendali SA-75. Pengadaan alutsista menggunakan fasilitas loan dari Rusia. Di antaranya berdasarkan misi Jenderal AH. Nasution, Januari 1962.
Setelah terbentuknya Federasi Rusia sebagai penerus Soviet yang bubar, prosedur pengadaan materil atau peralatan dari Federasi Rusia dibedakan antara materil untuk sipil dengan militer. Khusus untuk pengadaan materil sipil, termasuk pesawat terbang sipil, prosedur pengadaannya dapat langsung ke pabrik. Atau melalui Prompt Export dan Avia Export. Sekarang Prompt Export dan Avia Export telah dilikuidasi dan digabungkan dengan BUMN Rosvoorouzhenie menjadi Rosoboronexport. BUMN ini khusus menangani penjualan peralatan militer.
Rosoboronexport mempunyai perwakilan resmi di beberapa negara dan umumnya berkantor di luar gedung Kedutaan Federasi Rusia. Demikian pula di Indonesia. Dengan begitu, pengadaan peralatan militer dari Rusia dapat langsung melalui perwakiian tersebut. Bukan melalui perwakiian di negara lain karena langkah ini hanya akan memperpanjang proses dan memperbesar biaya administrasi. Termasuk biaya administrasi perantara.
Prosedur pengadaan alutsista TNI dari Rusia tergantung pada Presiden Rusia karena kewenangan tertinggi ada padanya. Sedangkan untuk lobbying dengan negara calon pembeli dilaksanakan Menteri Pertahanan Rusia.
Untuk pelaksanaannya, dilakukan oleh Rosoboronexport yang selalu berkoordinasi langsung dengan pabrik peralatan militer maupun pesawat terbang. Dengan kata lain, dalam penjualan materil peralatan militer di Rusia ditangani oleh Three Level Structure. Yaitu Presiden, Menteri Pertahanan dan Rosoboronexport.
Alhasil dalam pengadaan peralatan militer di Pusat Kebijakan Federasi Rusia tidak ada kemungkinan mark up. Kecuali bila rantai pengadaannya direkayasa melalui penambahan rantai yang panjang. Seperti pada kasus pembelian helikopter Mi-17 beberapa tahun yang lalu yang melalui Rosoboronexport dan perusahaan swasta di Singapura (pihak ke tiga).
Tidak seluruh pengadaan alutsista dari AS menggunakan FMS, namun ada yg melalui DCS (Direct Commercial Sales). Dari kedua system tersebut ada untung dan ruginya, tinggal bagaimana kepentingan kita dalam pengadaan akutsista tersebut.
Nah ini menarik..
Monggo dibabar pak mengenai sistem DCS ini. Terutama contoh penerapannya dalam pembelian alutsista Indonesia.
Kalau negara sebelah, sebut saja Singapura, saya tau ada beberapa unit F-15 mereka yang dibeli dgn mahal secara DCS. Nah dikita bagaimana? Terus terang saya kurang referensi mengenai hal ini. Bisa bantu?
Untuk pembelian dari Amerika cukup jelas dan rinci. Untuk yang dari Rusia masih agak menggantung dan kurang rinci, mohon diperjelas lagi mas, tengkyu