Pengadaan alutsista melalui jalur FMS dapat ditempuh melalui dua jalur. Yaitu commercial atau cash. Jalur commercial menggunakan FBB credit, FMS case. Sedangkan cara cash melalui FFB Federal Financing Bank. Untuk memperoleh loan credit harus memperoleh persetujuan dari DSAA (Defense Security Administration Agency).
Pengadaan melalui FMS selalu disertai formalitas administrasi Letter of Intent dan ditindak lanjuti dengan harga dan ketersediaan (price and availability). Selanjutnya dikeluarkan Letter of Offer and Acceptance. Dalam proses formalitas penerbitan LOO dan LOA selalu melibatkan Kedutaan AS di Jakarta. Dalam hal ini OMADP (Office Military Atachee Defense Program) dan FMS office di bawah koordinasi Atase Pertahanan Rl di Washington DC. Hal ini telah dilaksanakan sebelum embargo tahun 1991. Selain itu, FMS mengharuskan agen luar negeri maupun supplier terterkait dalam proses pengadaan terdaftar di OMADP/Kedutaan AS di Jakarta.
Jalur FMS dipercaya hampir tidak memberikan peluang terjadinya “penyeiesaian di bawah meja”, mengingat ketatnya pengawasan pemerintah kedua belah pihak. Keuntungannya, tidak ada mark up dan komisi bagi pembeli. Sehingga dapat mencegah penyimpangan dalam memperoleh suku cadang maupun komponen penggantian karena tidak dapat diperoleh di luar jalur FMS. Negosiasi dengan agen OMADP di dalam negeri pun tidak perlu menyediakan amplop coklat untuk tim negosiasi dari angkatan.
Mungkin ada rekanan yang menjual dan memasok materil yang termasuk dalam regulasi The Arms of The Export Control Act tetapi tidak melalui jalur FMS kepada salah satu angkatan di TNI. Bila ini terjadi, berarti rekanan tersebut memperoleh dari sumber yang tidak jelas atau bahkan mengambil dari gudang angkatan bersangkutan atau memperoleh barang secara ilegal. Namun hal tersebut pasti ketahuan karena sulit untuk memperoleh export license. Di samping itu semua Serial Number (S/N) barang ada recordnya di AS.
Tambahan lagi, untuk pengadaan peralatan yang termasuk dalam regulasi The Arms Export Control Act, penyediaan pembiayaannya adalah dengan dana devisa. Bukan dana maupun anggaran rupiah.
Di balik sederet keuntungan, jalur FMS memiliki kelemahan yang merugikan pihak pembeli. Antara lain, alutsista yang diberikan kepada negara ketiga untuk dibeli, diprioritaskan pada alutsista yang teknologinya telah dua tahun digunakan US Air Force (AU AS). Meskipun terhitung baru, teknologi alutsista tersebut jelas sudah ketinggalan dengan yang digunakan oleh AU AS.
Selain itu tahapan dalam proses untuk memperoleh keputusan pengadaan alutsista yang diperlukan TNI jelas memakan waktu. Ditambah kendala perbedaan dimulainya tahun Anggaran AS dan Indonesia. Tahun Anggaran di AS dimulai 1 Oktober. Dari segi personel, kendalanya adalah potensi keengganan personel untuk memroses pengadaan G to G/FMS. Alasannya, tentu saja tidak ada potensi komisi dari rekanan seperti pengadaan pada umumnya.
Tidak seluruh pengadaan alutsista dari AS menggunakan FMS, namun ada yg melalui DCS (Direct Commercial Sales). Dari kedua system tersebut ada untung dan ruginya, tinggal bagaimana kepentingan kita dalam pengadaan akutsista tersebut.
Nah ini menarik..
Monggo dibabar pak mengenai sistem DCS ini. Terutama contoh penerapannya dalam pembelian alutsista Indonesia.
Kalau negara sebelah, sebut saja Singapura, saya tau ada beberapa unit F-15 mereka yang dibeli dgn mahal secara DCS. Nah dikita bagaimana? Terus terang saya kurang referensi mengenai hal ini. Bisa bantu?
Untuk pembelian dari Amerika cukup jelas dan rinci. Untuk yang dari Rusia masih agak menggantung dan kurang rinci, mohon diperjelas lagi mas, tengkyu