Operasi Intelijen CIA Dihentikan Total
Memasuki pertengahan dekade 1960-an, nasib baik rupanya tidak lagi mau berpihak kepada gerakan perlawanan Tibet. Sebagai tetangga, India dan Nepal mulai merasa jengah atas kegiatan berbagai kelompok perlawanan Tibet yang kerap bersembunyi di wilayah mereka guna menghindari kejaran pasukan RRC seusai beraksi. Khawatir lambat laun situasinya akan berdampak buruk pada kepentingan AS di kawasan tersebut, Operasi Intelijen CIA lalu minta kepada kelompok perlawanan Tibet agar hanya membatasi aktifitas pada pengumpulan data intelijen terkait satuan militer RRC di Tibet. Imbauan ini dianggap sepi oleh para gerilyawan Tibet. Mereka tetap melanjutkan aksinya hingga tahun 1969, meski secara resmi ClA telah menghentikan pasokan bantuan Operasi Intelijen CIA sejak awal bulan Mei 1965.
Akibat luka-lukanya yang kelewat parah hasil dari sejumlah pertempuran yang dilakoninya selama ini, maka pada bulan September 1964 Gampo Tashi Andrugtsang meninggal dunia pada usia 64 tahun. Sebagai penggantinya ditunjuk trio jago tua, yakni Gyalo Thondup, Lhamo Tsering (koordinator kamp Mustang) dan Bapa Gen Yeshe. Di mata para gerilyawan, ketiganya lebih bersikap sebagai kepala suku yang otoriter ketimbang pimpinan kelompok perlawanan yang ulung mengatur strategi perang. Kondisi ini diperparah dengan citra kelompok perlawanan yang semakin merosot di mata warga perbatasan India dan Nepal. Pasalnya, demi memenuhi kebutuhan logistik mereka tidak lagi segan mencuri dan merampok harta benda milik warga dusun di sekitar perbatasan.
Sementara itu, perpecahan di antara para tokoh kelompok perlawanan mulai merebak. Tidak tahan terus bertikai dengan Gyalo Thondup yang didukung para gerilyawan muda, maka pada tahun 1968 Bapa Gen Yeshe hengkang dan kemudian bermukim di Kathmandu, Nepal. Kepada militer Nepal ia sengaja membocorkan rincian serba-serbi kelompok perlawanan Tibet.
Lonceng kematian gerakan perlawanan Tibet mulai berdentang saat Washington di bawah kendali Presiden Richard Nixon mulai menjalin kontak diplomatik dengan Beijing. Demi menjaga relasi yang baru bertunas, AS ‘terpaksa’ menghentikan segala bentuk dukungan kepada kelompok perlawanan Tibet dalam Operasi Intelijen CIA. Tidak peduli apapun resikonya. Saat turun perintah dari Departemen Luar Negeri AS untuk menutup Proyek “ST Circus”, tidak sedikit pejabat CIA yang merasa marah, malu, sedih dan frustasi atas ditutupnya Operasi Intelijen CIA ini. Reaksi lebih hebat tentu saja ditunjukkan oleh kelompok perlawanan Tibet. Beruntung, di tengah kegalauan ini masih ada beberapa pejabat CIA yang berani ambil resiko berinisiatif tetap mengirim bantuan meski dengan modal sendiri.
Tidak tahan dengan tekanan politik yang senantiasa dilakukan oleh Beijing, penguasa Nepal lantas memutuskan untuk menutup kamp Mustang pada penghujung tahun 1974. Tentu saja para gerilyawan menolak keras perintah Kathmandu untuk bubar dan lebih memilih bertempur hingga titik darah penghabisan. Dalai Lama yang tidak ingin melihat warganya dibantai pasukan Nepal juga ikut menghimbau para gerilyawan untuk membubarkan diri secara sukarela. Rekaman suara Dalai Lama yang berisi imbauan itu sengaja diputar pasukan Nepal di depan warga kamp Mustang disertai harapan agar mereka sudi menyerah dan dievakuasi ke dalam wilayah Tibet.
Namun apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan siapapun. Jerit tangis histeris seketika pecah di tengah kamp Mustang. Mereka seolah tidak percaya menghadapi fakta jika tokoh kharismatik yang selama ini mereka bela mati-matian kini justru minta agar mereka agar bersedia menyerahkan diri kepada pasukan Nepal. Begitu jerit tangis agak mereda dan beberapa warga kamp Mustang berkata kepada pimpinan pasukan Nepal bahwa mereka akan patuh pada kehendak Dalai Lama. Ratusan pucuk senjata berikut amunisinya segera dikumpulkan di tengah lapangan di bawah pengawasan pasukan Nepal. Namun rupanya diam-diam warga kamp Mustang punya niat lain. Mereka tidak sudi menyerah begitu saja.
Setelah memberikan senjatanya, puluhan gerilyawan segera berlari mengambil batu berukuran besar, menggendongnya ke sungai yang mengalir deras di belakang kamp. Dalam sekejap mata para mantan gerilyawan itu nekad menceburkan dan membenamkan diri di dalam sungai. Sementara ratusan orang lainnya menembak kepalanya sendiri, saling menggorok leher dengan sesama warga kamp atau bahkan meledakkan granat tangan di tengah kumpulan keluarganya. Pasukan Nepal tidak kuasa (atau enggan?) mencegah aksi bunuh diri massal ini. Mereka hanya tercenung menyaksikan suguhan tontonan horor berkuah darah tersebut dari kejauhan.
Ternyata tidak semua warga kamp Mustang nekad berjibaku. Belasan orang dipimpin Gyato Wangdu malah memilih kabur ke India. Tetapi nasib mereka rupanya ditakdirkan Sang Kuasa tidak beda dengan para rekan sejawatnya di kamp Mustang. Tepat sebulan kemudian, kelompok Gyato Wangdu kena sergap pasukan Nepal dan dihabisi di kawasan dekat Celah Tinkers. Praktis sejak saat itu gerakan perlawanan bersenjata Tibet boleh dikata padam.