Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang
Sejarah penerbangan pertama bagi Angkatan Darat Jepang tercatat dimulai awal tahun 1877 dengan penggunaan balon udara bagi kepentingan militer. Unit balon udara ini kemudian turut terlibat dalam operasi militer pada Konflik Rusia-Jepang tahun 1904. Kala itu dikerahkan dua unit balon yang sukses melakukan 14 misi dengan sasaran tangsi pasukan Rusia di Port Arthur.
Setelah mengirim beberapa perwiranya ke Perancis saat Perang Dunia 1 berkecamuk di Eropa, AD akhirnya secara resmi membentuk satuan matra udara. Dengan menyandang nama batalion angkutan udara (Air Battalion of the Army Transport Command), satuan ini dibentuk pada Desember 1915. Empat tahun kemudian pemekaran dilakukan dengan menaikkan tingkatannya menjadi sekelas divisi (Army Air Division). Mayor Jenderal Ikutaro Inouye jadi panglima pertamanya.
Aktivitas divisi ini makin meningkat dengan datangnya misi dari Perancis. Misi pimpinan Kolonel Faure ini diikuti pendidikan 63 pilot yang berkualifikasi instruktur. Selain itu turut dibawa juga beberapa pesawat pemburu buatan Perancis yang terkenal ampuh semasa PD I. Beberapa diantaranya adalah Spad S-13C-1 yang kemudian diadopsi oleh AD sebagai pesawat tempur standarnya. Selain itu dibawa juga Nieuport 24C-1 (latih tempur) dan Salmson 2A-2 (pengintai). Kedua tipe tadi akhirnya dibuat didalam negeri oleh pabrikan Nakajima dan Kawasaki. Selain itu turut juga hadir pesawat asal Inggris yaitu Sopwith Pup dan Avro 504 K.
Pada awal Mei 1925 dibentuklah korps udara Angkatan Darat Jepang (Army Air Corps/AAC). Dengan adanya perubahan tadi maka satuan udara ini punya kedudukan yang setara dengan satuan darat lain semisal kavaleri maupun infanteri. Letnan Jenderal Kinichi Yasumitsu kemudian yang pegang kendali 3.700 personil plus total 500 pesawat.
Pengalaman tempur di Vladivostok (1920) dan konflik di Tsinan, Cina (1928) jadi ujian awal keandalan AAC. Namun itu baru pertempuran kecil, konflik yang rada besar dilakoni saat AAC diwajibkan terlibat dalam insiden Manchuria dan Shanghai (1931-32). Pesawat yang dilibatkan dalam misi adalah Mitsubishi Tipe 87 (pembom ringan) berkombinasi dengan pemburu Nakajima Type 91. Tapi masalahnya kedua pesawat ini ternyata kurang mumpuni saat dipakai melawan pesawat Angkatan Udara Cina. Walau demikian kekuatan terus berkembang sampai akhirnya saat menjelang Perang Dunia 2 komposisi kekuatan udara AD Jepang ini terdiri dari total 1.500 pesawat siap tempur. Dalam skala pertempuran besar AD mendapat bagian tugas mempertahankan wilayah darat yang telah dikuasai.
Kekuatan Udara Angkatan Laut Jepang
Langkah membangun kekuatan udara yang punya kemampuan gerak dari laut (naval aviation) muncul di Bulan Juni 1912. Mulanya memang hanya berbentuk badan peneliti penerbangan laut (Naval Aeronautical Research). Langkah ini juga diimbangi dengan pembelian pesawat air (seaplane) dan mengirim tiga perwira AL ke Perancis dan Amerika. Alhasil dua pesawat dari Farman dan Curtiss dibawa serta kembali ke kampung halaman.
Latihan terbatas guna melahirkan pilot AL pun kemudian mulai dilakukan dan kemudian diikuti dengan pengoperasian kapal laut yang bisa meluncurkan sea plane, Wakamiya Maru. Dengan kapal ini pula AL Jepang untuk pertama kali membuktikan kemampuan menggelar operasi penyerangan (ofensif) dengan sea plane. Selama September dan Oktober 1914 AL Jepang melibas benteng pertahanan Jerman di Tsingtao. Hebatnya saat usianya baru seumur jagung, kesatuan ini berhasil memakan korban sebuah kapal penyapu ranjau Jerman.
Beberapa peristiwa penting kemudian mewarnai perkembangan satuan udara AL Jepang. Pertama terjadi pada kurun waktu 1916 sampai 1918, saat itu dibentuk dua korps udara AL yang berkedudukan di Yokosuka dan Sasebo. Kejadian lain adalah keberhasilan uji coba tinggal landas sebuah pesawat Sopwith Pup dari atas dek kapal. Uji coba ini dilakukan pada tahun 1920 diatas kapal Wakamiya Maru yang telah mengalami perombakan.
Reorganisasi secara profesional kemudian dilakukan di awal era 30-an, setelah AL dilibatkan dalam operasi militer melawan Angkatan Bersenjata Cina. Berbeda dengan AD, untuk urusan pengembangan pesawat tempur AL bisa dibilang iebih rewel. Lihat saja program perancangan pesawat yang mesti punya kemampuan yang disyaratkan dalam 7-Shi dianggap terlalu ambisius. Akibatnya kebanyakan pabrikan pesawat dalam negeri angkat tangan untuk me-menuhi tuntutan ini. Akhirnya dua tahun kemudian AL merevisi syarat tadi dalam program 9-shi. Langkah ini terbukti tepat. Alhasil berbagai jenis pesawat tempur yang punya kemampuan mumpuni akhirnya hadir. Beberapa diantaranya adalah pemburu Mitsubishi A5M, pembom Mitsubishi G3M, Yokosuka B4Y, dan pesawat ampibi Kawanishi H6K.
Tepatnya saat Konflik Cina-Jepang kedua pecah (1937) kekuatan udara AL benar-benar menunjukkan taringnya. Sampai dengan menjelang pecahnya Perang Pasifik, diperkirakan pihak AL punya total kekuatan 3.000 pesawat tempur dari berbagai jenis. Hampir separuh dari jumlah itu disiagakan di garis depan. Dalam pertempuran skala besar AL kebagian jatah melakukan serangan mematikan pada sasaran-sasaran penting musuh seperti pada saat serangan Jepang ke Pearl Harbour.