REORGANISASI DAN REFUNGSIONALISASI TUGAS BRIMOB
Hingga awal 1974, Brimob adalah satu-satunya satuan kombatan di jajaran ABRI yang telah berkemampuan lawan teror. Di dalam tubuh Brimob kemampuan ini dikuasai satu unit kecil yang berada di bawah kendali Kapolda Metro Jaya. Unit elit nan rahasia ini dinamai Gegana (Langit). Unit ini diharapkan kelak bisa mengatasi setiap bentuk aksi terorisme di dalam pesawat terbang sipil dan militer. Namun sejak tahun 1976 Gegana justru lebih memperdalam ilmu menjinakkan rangkaian peledak ketimbang mendalami kemampuan lawan teror.
Di awal era Orde Baru Brimob dipercaya mengemban tugas polisional dalam rangka menjaga keamanan. Ironisnya, pimpinan ABRI saat itu masih meniru konsep Tokubetsu Keisatsu Tai selaku pasukan cadangan sehingga Brimoib juga difungsikan selaku komponen pasukan cadangan ABRI. Belakangan pimpinan ABRI mengembalikan fungsi Brimob kepada peran asasinya selaku institusi penegak hukum dan mereduksi kemampuan tempurnya. Kebijakan pimpinan ABRI ini dijabarkan para petinggi Polri dalam bentuk Surat Keputusan Kapolri No. Pol SK/05/III/1972 yang mengatur soal refungsionalisasi dan reorganisasi Korps Brimob (02/3/72). Sejak itu kendali operasi satuan Brimob di tingkat propinsi dipegang Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda).
Setelah direorganisasi maka besaran kekuatan tiap satuan Brimob dibatasi hanya sampai pada jenjang batalyon. Sementara itu seluruh kompi Brimob yang selama ini terlanjur jadi unit yang berdiri sendiri lantas dialihkan jadi satuan organik pada setiap Polda. Peran Brimob kini sebagai satuan bantuan operasional taktis kepolisian. Titik berat tanggungjawabnya tak lagi pada tugas tempurtetapi kepada penanganan segala bentuk tindak kriminal berintensitas tinggi yang tidak mungkin dihadapi satuan polisi biasa. Pada tahun 1983 Brimob kembali direorganisasi. Lewat Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/552/XI/1983, di setiap Polda dibentuk batalyon Bimob berkekuatan sejumlah kompi (14/11/83).
Brimob terpaksa menelan ‘pil pahit’ setelah Panglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani menghapuskan program pendidikan kejuruan Menpor dari silabus Pusdik Brimob Watukosek (1983). Alasannya agar postur ABRI lebih ramping dan menghindari terjadinya tumpang tindih wewenang di antara sesama satuan kombatan ABRI. Kebijakan ini bertolak belakang dengan upaya peningkatan kemampuan Brimob yang dirintis Jenderal TNI M Jusuf sejak 1978. Saat tongkat komando Panglima ABRI dipegang Jenderal TNI Feisal Tandjung, sempat ada wacana untuk kembali menyerahkan tanggungjawab penanganan gangguan keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat (kamtibmas) kepada Brimob (1993). Tetapi wacana ini kurang ditanggapi para petinggi ABRI. Apalagi jajaran Brimob sendiri merasa kemampuannya selaku sebagai satuan paramiliter sudah banyak berkurang.
Sejak tahun 1996 Brimob tidak lagi dipimpin seorang perwira menengah Polri tetapi oleh perwira tinggi berbintang satu. Masih pada tahun yang sama 15 anggota Resimen II Gegana berhasil menamatkan pendidikan terjun bebas di Margahayu, Bandung. Kelimabelas personil Resimen Gegana ini kemudian jadi modal Brimob membuka sekolah terjun bebasnya sendiri di Mako Brimob Kelapa Dua. Hingga kini meski tidak diwajibkan, namun kebanyakan anggota Resimen Gegana memiliki kemampuan terjun bebas.
Menjelang akhir era Orde Baru, para petinggi Polri kembali berniat memulihkan keberadaan Menpor sebagai satuan pemukulnya (1997). Untuk mewujudkan ‘impian’ itu maka pada Oktober 1999 dibuka program pendidikan calon personil Menpor. Selesai digodok selama lima bulan di Watukosek maka 48 orang berhasil menyabet tanda kecakapan ranger dan lantas jadi modal awal pembentukan kembali Menpor. Secara bertahap jangka waktu pendidikan para calon anggota Menpor dipersingkat jadi empat setengah bulan. Mengingat tingginya tingkat kebutuhan akan personil Brimob berkualifikasi ranger maka durasi masa pendidikan calon anggota Menpor diperpendek lagi hingga tinggal tiga bulan saja.
Di era Orde Reformasi, kondisi kamtibmas mengalami ‘kemunduran’. Kerusuhan massa dan konflik horizontal bernuansa SARA marak terjadi di sejumlah daerah. Puncaknya terjadi serangkaian aksi pengeboman atas berbagai obyek sipil di sejumlah tempat (1999). Untuk mengatasi gangguan kamtibmas berintensitas tinggi itu terutama sekali aksi pengeboman maka setiap Polda mengirimkan beberapa anggota Brimobnya ikut kursus pengenalan dan penjinakan rangkaian peledak di Mako Resimen Gegana. Sepulang mengikuti kursus itu para anggota Brimob daerah lantas membentuk unit Gegana pada tiap Polda yang menaunginya. Keberadaan unit Gegana ini baru resmi saat terbit Keputusan Kapolri No. Pol. Kep. 54/X/2002 tentang pengesahan eksistensi sub detasemen Gegana pada tiap satuan Brimob di tingkat Polda.
Dengan kian bertambahnya jumlah anggota Korps Brimob yang telah lulus pendidikan bakal Menpor maka Brimob lalu membentuk dua satuan Menpor baru. Di saat yang bersamaan kekuatan Resimen II Gegana juga dimekarkan dari dua jadi empat detasemen. Karena secara de facto Resimen Gegana lebih dulu lahir ketimbang kedua satuan Menpor model baru maka nomor urut satuannya lalu diubah jadi Resimen I Gegana (Kelapa Dua), Resimen II Pelopor (Kedung Halang)’dan Resimen III Pelopor (Kelapa Dua). Sebagaimana halnya Gegana, Resimen II dan Resimen III Pelopor masing-masing berkekuatan empat detasemen.
Tepat pada hari jadi Polri ke 57, seluruh anggota Brimob mengenakan seragam berwarna hitam yang semula hanya boleh dipakai anggota Resimen I Gegana. Agar kesan militeristik di tubuh Korps Brimob secara perlahan dapat dihapuskan maka di awal tahun 2004 sebutan “Resimen” diganti jadi “Satuan”. Sejak saat itu berlaku nama resmi Satuan I Gegana, Satuan II Pelopor dan Satuan III Pelopor.
sangat bagus artikelnya.. mengupas tuntas profil BRIMOB..