
Sumber : wikipedia
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby
Gencatan senjata akhirnya ditandatangani antara pihak tentara Sekutu dan Indonesia pada tanggal 29 Oktober 1945. Keadaan berangsur – angsur mereda, walaupun begitu, masih sering terjadi bentrokan senjata antara rakyat dan tentara Sekutu di Surabaya. Kejadian demi kejadian akhirnya mencapai puncak pada malam hari tanggal 30 Oktober 1945. Saat itu, mobil Buick yang ditumpangi oleh Brigadir Jenderal Mallaby, seorang pimpinan tentara Inggris di Jawa Timur berpapasan dengan sekelompok milisi pro-Indonesia saat akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman yang terjadi akhirnya menyebabkan timbulnya kontak senjata yang akhirnya menewaskan Brigjen Mallaby serta menghancurkan mobil Buick yang ditumpanginya.
Kejadian ini menyebabkan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh akhirnya mengeluarkan ultimatum bahwa hingga tanggal 10 November 1945, semua elemen milisi Indonesia, harus menyerahkan semua persenjataan yang dimilikinya dan menghentikan perlawanan terhadap pasukan AFNEI dan NICA.
Sayangnya, ultimatum ini malah dianggap sebagai ‘Peghinaan’ dan ‘Tantangan’ bagi rakyat Indonesia di Surabaya. Tak terima dengan ultimatum ini, rakyat Indonesia di Surabaya akhirnya membulatkan tekad untuk mengobarkan perang melawan tentara Inggris-Belanda.
Pertempuran 10 November, Perang Gedhe-nya Arek Suroboyo
Pagi hari tanggal 10 November 1945, akhirnya tentara Inggris dan Belanda memutuskan untuk menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara. Dua unit kapal penjelajah, serta tiga unit kapal perusak membombardir daerah Surabaya dari wilayah perairan Surabaya. Didukung oleh tembakan meriam artileri pasukan darat Inggris dan Belanda, Surabaya dihujani dengan munisi milik meriam – meriam tersebut.
Pesawat tempur P-47 Thunderbolt dan pesawat pembom-tempur Mosquito milik AU Inggris (Royal Air Force) mulai bermanuver dalam ketinggian rendah, melancarkan serangan udara ke titik titik pertahanan pasukan milisi Indonesia. Pergerakan pesawat tempur, serta gempuran tembakan dari meriam kapal perang dan artileri darat yng menghujani Surabaya, mengalihkan perhatian milisi, hingga akhirnya, unit unit tank Sherman milik tentara Sekutu mulai mendarat dan bergerak membelah kekuatan milisi di jalan – jalan Surabaya.
Bung Tomo, seorang pemimpin revolusioner di Surabaya, terus mengobarkan semangat perjuangan ‘Arek-Arek Suroboyo’ melalui “Radio Pemberontakan”. Siaran – siaran yang terus dipancarkan, berdampak secara psikologis bagi para pejuang yang bertempur saat itu. Sementara itu, dari luar Surabaya, tokoh – tokoh agama seperti pemimpin – pemimpin pondok pesantren, menggerakkan santri mereka untuk “Berjihad” melawan penjajah. Pergerakan ini dapat dimanfaatkan sebagai “Reinforcements” bagi kekuatan Republik Indonesia.
Pihak Sekutu, yang awalnya memprediksi bahwa “Pertempuran untuk menguasai Surabaya hanya akan berlangsung selama tiga hari” terpaksa menelan pil pahit berupa pertempuran yang berkobar selama tiga minggu, jauh dari prediksi mereka. Akhirnya, setelah 21 hari bertempur, pasukan Republik mulai kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah Surabaya dan akhirnya Surabaya jatuh kedalam kendali tentara Inggris. Setidaknya 6,000 – 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Sementara itu, pihak Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 – 2000 tentara.