Tak lama kemudian, Letnan Kolonel Slamet Riyadi mengeluarkan Pedoman Gerilya II yang mencakup organisasi dan dislokasi pasukan yang dipimpinnya. Pengaturannya adalah sebagai berikut: Kekuatan pasukan di kota Solo sebanyak satu batalyon; Kekuatan pasukan di kota kabupaten (seperti Klaten dan Boyolali) sebanyak satu seksi; Dan kekuatan pasukan di tempat-tempat kecil yang strategis minimal sebanyak satu regu.
SERANGAN UMUM KE KOTA SOLO
Pemerintahan Republik Indonesia kembali ke kota Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Hal ini menyebabkan Pasukan Belanda harus mengosongkan kota Yogyakarta dan bergerak ke arah timur menuju Solo. Dengan begitu kedudukan Pasukan Belanda di Solo semakin kuat dan sering terjadi kontak senjata dengan pasukan gerilya yang dipimpin Letnan Kolonel Slamet Riyadi.
Untuk mengacaukan moral pasukan gerilya, Pasukan Belanda menggempur wilayah yang ditengarai sebagai basis pasukan Letkol Slamet Riyadi dengan tembakan artileri. Kemudian setelah “dilunakkan” dengan artileri, baru digerakkan pasukan tempur untuk “membersihkan” daerah tadi.
Pada awal Agustus 1949, Letnan Kolonel Slamet Riyadi diminta menyerah melalui sepucuk surat yang dikirim oleh Komandan Pasukan Belanda Overste (Letkol) Van Ohl yang bermarkas di Bangak. Permintaan ini jelas tidak dituruti oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Saat itu kekuatan Pasukan Belanda sebanyak tujuh batalyon (termasuk tiga batalyon yang mundur dari Yogyakarta); di kota Solo ditempatkan satu batalyon, di Klaten dua batalyon, di Boyolali satu batalyon dan sisanya tersebar di beberapa kabupaten. Sementara, kekuatan pasukan TNI sebanyak enam batalyon ditambah tiga kompi dengan persenjataan cukup lengkap. Dengan perbandingan kekuatan ini, Letnan Kolonel Slamet Riyadi berani menyusun kekuatan untuk melakukan serangan besar-besaran ke kota Solo dan sekitarnya walaupun pada 3 Agustus 1949 Presiden Soekarno dan A.H.J. Lovink selaku Panglima Tertinggi Militer Belanda telah memerintahkan untuk menghentikan tembak menembak.