Ketika pasukan ini bergerilya dekat Wonosobo, mereka bermarkas di Marongsari. Dan atas inisiatif salah seorang anggotanya, Rinto Sulaiman mereka bisa menerbitkan majalah yang berjudul SPES PATRIAE (Untuk Tanah Air). Majalah ini memeuat pengalaman, pemikiran dan cerita dari para anggota Pasukan T. Yang menenarik, halaman terakhirnya diberi judul “Ruangan bahasa Musuh” yang memuat tulisan berbahasa Belanda. Majalah ini di bawa masuk ke kota Magelang oleh para gadis penghubung yang ikut membantu Pasukan T sejak dari Gunung Sumbing. Majalah ini juga sampai ke tangan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ketika beliau singgah di Magelang.
Salah satu keberhasilan mereka adalah memukul patroli Pasukan KL (Koninklijke Leger – Pasukan Kerajaan Belanda, bukan NICA/KNIL) dari Sapuran di Desa Banaran pada Juli 1949. Keberhasilan ini didukung persiapan dan potensi medan pertahanan walaupun persenjataan kalah jauh dibandingkan milik Pasukan KL.
Karena posisi Pasukan Belanda yang semakin terjepit menghaapi gerilya maka pihak Belanda melapor ke pihak UNCI (United Nations Commission for Indonesia – Badan PBB yang menengahi konflik Indonesia – Belanda) agar menyampaikan perintah penghentian tembak menembak. Penghentian tembak menembak di lapangan mulai efektif tanggal 9 Agustus 1949 walaupun sebenarnya pada tanggal 3 Presiden Soekarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman telah mengumumkan perintah Penghentian tembak menembak.
Beberapa perwira Pasukan T ditugaskan menjadi perwira penghubung (liason officer) dengan perwira dari Pasukan Belanda. Mereka juga membahas penarikan Pasukan Belanda dari Wonosobo dan serah terima kota Wonosobo kepada TNI. Pasukan T resmi masuk kota Wonosobo pada 18 Oktober 1949.
Aku bangga almarhum kakek ku dulu menjadi anggota pasukan divisi 5 ronggolawe, di bawah komando bpk sudarmono, aku anak cepu bangga kota cepu dulu menjadi markas divisi 5 ronggolawe.
Sy juga anak dari pasukan / Divisi V Ronggolawe yg berasal dari Blora