Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keberanian dan kepemimpinan Supriyadi diakui ketika Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam kabinet pertama. Namun, masa jabatannya singkat, dan akhirnya ia dinyatakan hilang. Ketiadaannya memunculkan banyak spekulasi tentang nasibnya, meninggalkan misteri yang tidak terpecahkan.
Sebagai penghargaan atas dedikasinya yang teguh dan kontribusinya dalam pembebasan Indonesia, Supriyadi diberi gelar Pahlawan Nasional melalui Dekrit Presiden Nomor 063/Tk/Tahun 1975 pada tanggal 9 Agustus 1975.
Supriyadi tetap menjadi bukti nyata atas semangat yang tidak dapat dipatahkan dan pengorbanan mereka yang berani menentang tirani dan membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia.
Inti utama di balik kepemimpinan Supriyadi dalam pemberontakan PETA berasal dari pengalamannya sendiri atas penderitaan yang ditimpa pada rakyat Indonesia di bawah penindasan Jepang. Perlakuan yang mengerikan seperti kerja paksa (romusha), kelaparan meluas, penyakit yang tidak diobati, dan perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan Indonesia oleh militer Jepang menjadi pemicu bagi Supriyadi dan kawan-kawannya untuk memulai pemberontakan PETA pada tanggal 14 Februari 1945, sebagai bentuk perlawanan yang teguh terhadap kolonialisme dan penderitaan yang dihadapi oleh rakyat Indonesia.
Nasib Supriyadi sendirisetelah pemberontakan PETA tetap menjadi misteri. Setelah pemberontakan yang gagal, ada laporan yang menyebutkan bahwa Supriyadi berhasil lolos dari penangkapan oleh pasukan Jepang. Namun, setelah itu, tidak ada informasi pasti mengenai keberadaannya atau apa yang terjadi padanya. Supriyadi secara misterius menghilang, dan tidak ada laporan atau bukti yang jelas tentang apa yang terjadi setelah ia lolos dari penangkapan Jepang. Hal ini menjadikan eksistensi Supriyadi setelah pemberontakan sebagai salah satu misteri yang tidak terpecahkan dalam sejarah Indonesia.
Supriyadi digambarkan sebagai seorang pemimpin muda yang berdedikasi dan bersemangat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir dari keluarga bangsawan dengan latar belakang pendidikan yang memadai. Bergabung dengan PETA pada usia muda, ia diakui sebagai pemimpin yang mampu dan mencapai pangkat komandan peleton (shodancho) pada usia yang relatif muda.