Supriyadi dan Pemberontakan PETA Blitar 14 Februari 1945 – HobbyMiliter.com – Sejarah perjuangan Indonesia untuk meraih kemerdekaan sangat dipenuhi oleh semangat dan keberanian individu seperti Supriyadi. Dilahirkan pada tanggal 13 April 1923, di Trenggalek, Jawa Timur, Supriyadi berasal dari garis keturunan bangsawan, ayahnya adalah Bupati Blitar, Raden Darmadi. Pendidikan awalnya di Eoropeesche Lagere School dan pendidikan berikutnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs serta Sekolah Pegawai Negeri di Magelang membentuk perjalanan hidupnya sebagai tokoh sentral dalam perjuangan Indonesia untuk merdeka.
Langkah Supriyadi ke dalam sejarah Indonesia ditandai dengan keputusannya untuk bergabung dengan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) pada akhir tahun 1943. Dilatih di sekolah perwira PETA di Tangerang, ia dengan cepat naik pangkat menjadi komandan pleton (shodancho), mencerminkan dedikasi dan kemampuannya di usia yang masih muda.
Dikirim ke Blitar, Jawa Timur, pada awal tahun 1944, Supriyadi mengambil alih kepemimpinan Batalyon PETA Blitar, yang beroperasi di bawah kendali pemerintah militer Jepang. Di Blitar, Supriyadi dan rekan-rekannya, lulusan pelatihan PETA perdana di Bogor, dihadapkan pada kenyataan mengerikan tentang penderitaan Indonesia di bawah penindasan Jepang.
Pengalaman melihat kerja paksa (romusha), kelaparan meluas, penyakit yang tidak diobati, dan perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan Indonesia oleh tentara Jepang sangat mempengaruhi hati nurani Supriyadi. Penderitaan ini menjadi pemicu semakin kuat untuk memberontak melawan penindas.
Dalam pertemuan rahasia mulai September 1944, Supriyadi merencanakan revolusi menuju kemerdekaan Indonesia. Tanggal 14 Februari 1945 dipilih secara cermat sebagai hari aksi karena adanya pertemuan penting seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar. Tujuannya adalah untuk menggerakkan partisipasi luas dalam upaya perlawanan mereka terhadap pendudukan Jepang.
Pada pagi 14 Februari yang tak terlupakan itu, pukul 03.00 pagi, pasukan PETA yang dipimpin oleh Supriyadi memulai pemberontakan mereka. Mortir menyerang Hotel Sakura, tempat tinggal personel militer Jepang, sementara senjata mesin menargetkan Markas Kempetai. Secara simbolis, seorang Bhudancho dengan tegas mengganti poster yang menjanjikan kemerdekaan dengan poster yang berani menyatakan, “Indonesia sudah Merdeka!”
Meskipun penuh dengan keberanian, pemberontakan PETA dihadapi dengan tantangan yang sangat berat. Upaya Supriyadi untuk menggerakkan unit lain untuk memberontak digagalkan, memberikan peringatan kepada Jepang tentang rencana mereka. Dengan cepat merespons, Jepang mengerahkan pasukan militer untuk meredam pemberontakan. Pasukan PETA yang kalah jumlah tidak berdaya melawan pasukan Jepang yang sangat bersenjata, dilengkapi dengan tank dan pesawat.
Kemudian, Supriyadi dan beberapa prajurit PETA ditangkap dan diadili oleh militer Jepang. Meskipun beberapa di antaranya ditangkap dan menghadapi konsekuensi hukuman, nasib Supriyadi tetap menjadi misteri. Laporan-laporan menyebutkan bahwa ia berhasil melarikan diri dari tahanan Jepang, namun keberadaannya menjadi tidak diketahui.