Setelah hampir satu tahun mengepung Benteng Bonjol, pasukan Belanda kembali menyerang secara besar-besaran tanggal 3 Desember 1836 sebagai upaya terakhir menaklukkan Bonjol namun kembali gagal walaupun sempat menjebol sebagian Benteng Bonjol dan membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol.
Belanda pun terus melancarkan beberapa serangan secara bertubi-tubi yang disertai hujan peluru pasukan artileri dengan meriam besar. Setelah 6 bulan, tanggal 3 Agustus 1837 pasukan Belanda dipimpin Letnan Kolonel Michiels mulai menguasai keadaan dan akhirnya di tanggal 15 Agustus 1837 Bukit Tajadi jatuh disusul dengan penaklukkan Benteng Bonjol di tanggal 16 Agustus 1837. Tuanku Imam Bonjol didampingi beberapa pengikutnya berhasil mengundurkan diri keluar dari Benteng Bonjol dan mengarah ke Marapak.
Setelah tiga tahun melakukan konsolidasi pada semua pasukannya dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda, Tuanku Imam Bonjol memutuskan menyerah pada Belanda di bulan Oktober 1837 dengan syarat anaknya, Naali Sutan Chaniago diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.
Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur tanggal 23 Januari 1838 dan dipindahkan ke Ambon di akhir tahun 1838 disusul dengan pemindahannya ke Lotta yang terletak di Minahasa dekat Manado tanggal 19 Januari 1839. Dan pada akhirnya tanggal 8 November 1864, setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun, Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia dan dimakamkan di tempat pengasingannya itu.
Semasa hidupnya, Tuanku Imam Bonjol sempat menulis autobiografi yang diberi nama Naskah Tuanku Imam Bonjol. Naskah tersebut berisi penyesalannya atas kekejaman Wahabi Padri. Sebagai karya sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu, naskah tersebut disimpan keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley diikuti tahun 2004 di Padang.
Perang Padri masih berlanjut meskipun Benteng Bonjol berhasil direbut Belanda tahun 1837 sampai tanggal 28 Desember 1838 saat benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu jatuh. Kejatuhan tersebut dianggap sebagai akhir dari Perang Padri hingga Kerajaan Pagaruyung pun ditetapkan sebagai bagian Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden berada di pengawasan pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda pun membangun monumen guna mengenang kisah sejarah Perang Padri dan berlanjut tahun 1913 saat beberapa lokasi tempat Perang Padri terjadi ditandai dengan tugu serta ditetapkan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat turut membangun museum dan monumen di Bonjol dan memberinya nama Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol. Pemerintah Indonesia juga menetapkan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional, mengingat jasa-jasanya selama memimpin Perang Padri.
Dalam sejarah Perang Padri yang berlangsung dalam rentang waktu cukup panjang bukan cuma meruntuhkan Kerajaan Pagaruyung, namun juga membuat perekonomian masyarakat sekitar merosot yang mendorong masyarakat sekitar pindah dari kawasan konflik. Benar-benar perang yang menguras harta serta mengorbankan jiwa raga kedua belah pihak yang bertikai, terutama masyarakat sekitar.