Kaum Padri terus melakukan konsolidasi melawan Belanda dan awal tahun 1833 saat pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, Kaum Padri pimpinan Tuanku Rao menyerang mereka hingga banyak korban jiwa berjatuhan di pihak Belanda. Akan tetapi di tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat saat pertempuran di Air Bangis hingga dirinya pun kemudian meninggal tidak lama setelah dinaikkan ke kapal untuk diasingkan.
Perang Padri mengalami perubahan dari perang saudara menjadi perang melawan penjajahan Belanda di tahun 1833 saat muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang sebelumnya berselisih. Kubu pertahanan garnisun Belanda pun diserang mendadak tanggal 11 Januari 1833 yang mengakibatkan tewasnya sekitar 139 tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi.
Sultan Tangkal Alam Bagagar selaku Regent Tanah Datar yang ditunjuk Belanda ditangkap pasukan Letnan Kolonel Elout tanggal 2 Mei 1833 atas tuduhan pengkhianatan dan diasingkan ke Belanda walau dirinya menyangkal tuduhan Belanda tersebut. Belanda pun menunjuk Tuan Gadang di Batipuh sebagai Regent Tanah Datar menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar.
Belanda sudah menyadari bahwa mereka kini bukan cuma menghadapi perlawanan Kaum Padri namun keseluruhan masyarakat Minangkabau. Atas dasar itulah pemerintah Belanda mengeluarkan pengumuman Plakat Panjang di tahun 1833 yang berisi pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau bukan untuk menguasainya namun hanya untuk berdagang serta menjaga keamanan, dan para penduduk Minangkabau tetap diperintah para penghulu serta tidak wajib bayar pajak. Akan tetapi Belanda dengan dalih menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah dan lainnya itu membutuhkan biaya, penduduk pun diwajibkan menanam kopi dan menjualnya ke Belanda.
Perang Padri yang berkelanjutan ini memaksa Gubernur Jenderal Belanda Johannes van den Bosch untuk menginspeksi dari dekat proses operasi militer pasukan Belanda. Bosch kemudian memaksa Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol yang merupakan pusat komando pasukan Kaum Padri tanpa mengindahkan peringatan mereka bahwa saat itu belum tepat mengingat kesetiaan penduduk sekitar yang masih diragukan..
Kaum Padri melakukan perlawanan dengan menggunakan taktik serangan gerilya hingga berhasil menggagalkan serangan Belanda ke Bonjol tersebut. Selama periode tahun 1834 Belanda fokus perhatian mereka pada pengerahan kerja paksa untuk pembuatan jalan dan jembatan sebagai akses ke Bonjol dan menanamkan pengaruh ke beberapa kawasan sekitar kubu pertahanan mereka.
Perang Padri berlanjut tanggal 16 April 1835 saat Belanda memutuskan menyerang dan menaklukkan Bonjol. Keputusan tersebut diikuti tindakan nyata dengan melakukan operasi militer tanggal 21 April 1835. Benteng Bonjol sendiri dikenal dengan nama Bukit Tajadi dimana dinding luarnya terdiri dari beberapa batu besar yang di atasnya ditanami bambu berduri panjang dengan rapat agar dapat dijadikan tempat pengamatan bahkan tempat menembakkan meriam ke pasukan Belanda oleh Kaum Padri.
Kondisi alam sekitar Bonjol yang terdiri dari semak belukar serta hutan lebat dimanfaatkan Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis sekaligus markas utama Tuanku Imam Bonjol. Berbagai upaya dilakukan pasukan Belanda untuk mengatasi kokohnya Benteng Bonjol tersebut, seperti melakukan pengepungan dan melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata, namun gagal.