Raden Mas Adipati sangat menyayangi Kartini dan sempat mengijinkan Kartini belajar menjadi guru di Betawi, namun tetap tidak mengijinkannya melanjutkan studi ke Belanda maupun masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Namun saat Kartini berusia 24 tahun atau sekitar pertengahan tahun 2903, niatnya untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pupus dikarenakan dia akan menikah. Padahal saat itu Kartini sudah mendapatkan kesempatan untuk belajar di Betawi dari pihak departemen pengajaran Belanda.
Kartini kemudian dijodohkan orang tuanya dengan bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah pernah menikah tiga kali. Menjelang pernikahannya tersebut, penilaian Kartini akan adat Jawa mulai berubah menjadi lebih toleran. Menurutnya pernikahan bisa membawa keuntungan sendiri dalam upayanya mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi.
Perubahan pemikirannya tersebut menyiratkan bahwa Kartini menjadi wanita yang mengutamakan transendensi dimana Kartini lebih memilih untuk berkorban dan mengikuti prinsip patriarki yang ditentangnya selama ini dengan menikahi Adipati Rembang saat dirinya hampir memperoleh impian bersekolah di Betawi.
Pada tanggal 12 November 1903, Kartini pun menikah. Untungnya, hasrat Kartini akan pendidikan didukung suaminya hingga dia diberikan kebebasan dan didukung saat mendirikan sekolah wanita di bangunan sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang yang saat ini dipakai sebagai Gedung Pramuka.
Hasil pernikahannya membuahkan seorang anak pertama sekaligus terakhir yang dinamakan Soesalit Djojoadhiningrat yang terlahir tanggal 13 September 1904. Beberapa hari setelah kelahiran anaknya tersebut, Kartini meninggal di usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Mr. J. H. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda kemudian mengumpulkan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini ke teman-temannya di Eropa dan membuatnya menjadi buku yang diberi judul Door Duisternis tot Licht yang berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Buku tersebut diterbitkan tahun 1911 dan dicetak sebanyak lima kali dengan tambahan surat Kartini di cetakan terakhir.
Kemudian Balai Pustaka di tahun 1922 menerbitkan buku kumpulan surat Kartini tersebut dalam bahasa Melayu dan diberi judul yang hingga kini dikenal, yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Perkembangan selanjutnya dilakukan oleh Armijn Pane, sastrawan Pujangga Baru yang menerbitkan Habis Gelap Terbitlah Terang versinya di tahun 1938 dan membaginya menjadi lima bab pembahasan guna memperlihatkan perubahan cara pikir Kartini seiring waktu korespondensinya tersebut. Buku versi Armijn tersebut dicetak hingga sebelas kali.
Berbagai surat Kartini yang berbahasa Inggris juga diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers, bahkan berbagai surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke bahasa Jawa dan Sunda. Dengan terbitnya berbagai surat Kartini yang merupakan perempuan pribumi menarik perhatian masyarakat Belanda.