Atas jasa pengorbanannya tersebut, Tendean pun dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta bersama keenam perwira tinggi lain yang tewas saat peristiwa Gerakan 30 September. Selain itu pemerintah pun menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965 dengan berdasar pada Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 111/KOTI/Tahun 1965. Tendean juga dipromosikan secara anumerta menjadi Kapten, dan juga diberikan penghargaan lain berupa pemberian nama beberapa jalan sesuai namanya, seperti di Manado, Balikpapan dan juga Jakarta serta dikeluarkannya Perangko Pierre Tendean pada tahun 1966.
Patriotisme serta nasionalisme Tendean terlihat jelas dengan pengorbanannya saat peristiwa G30S. Akan tetapi hal tersebut sudah ditunjukkan Tendean sejak muda dimana walau dirinya kerap diejek sebagai kaum Indo, namun nasionalismenya tidak pernah luntur. Tendean tetap mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia, dan kerap menunjukkan sikap nasionalismenya yang sekaligus merupakan perjuangan pengakuan identitas diri.
Sikap serta kepribadian Tendean tersebut sangat dipengaruhi peran ayahnya, Aurelius Lammert Tendean yang merupakan teladan utama Tendean. Sebagai seorang dokter spesialis jiwa, Aurelius dikenal sebagai seorang yang humanis. Hal tersebut terbukti saat surat kabar De Locomotief Samarangsch handels en advertentie blad di edisi 26 Januari 1955 menuliskan bahwa Aurelius yang saat itu menjabat Kepala Rumah Sakit Jiwa Tawang yang kini dikenal dengan nama RSJ dr. Amino Gondohutomo di Semarang menggratiskan pelayanan kesehatan.
Alasannya adalah karena saat itu negara mengalami situasi paceklik ekonomi-politik setelah mengecap 10 tahun kemerdekaan yang mengakibatkan peningkatan jumlah pasien. Tentu saja peningkatan jumlah pasien tersebut membawa masalah bagi rumah sakit karena saat itu kapasitas rumah sakit hanya bisa untuk menangani 200 pasien ditambah juga dengan fakta bahwa Aurelius merupakan satu-satunya dokter dan hanya dibantu 11 perawat.
Selain itu Aurelius juga sempat memutuskan untuk menekan biaya perawatan di rumah sakit pimpinannya di awal September 1955. Padahal menurut surat kabar Java-bode nieuws, handels-en advertentieblad voor Nederlandsch-Indië edisi tanggal 31 Agustus 1955 menuliskan sebelum keputusan dibuat, RSJ Tawang mengalami lonjakan pasien yang disertai juga dengan pembengkakan biaya. Namun Aurelius tetap memutuskan untuk mengumumkan bahwa mulai tanggal 1 September 1955 biaya perawatan sebesar Rp. 7,50 yang kemudian seiring waktu naik menjadi Rp. 10,50.
Kedermawanan serta humanis dan pengabdian Aurelius tersebut pun kemudian menurun kepada putranya Tendean. Hingga tidaklah mengherankan kalau Tendean berani mengorbankan dirinya demi keselamatan atasannya tersebut.
Demikian sekilas informasi terkait biografi Pierre Tendean, semoga jasa dan pengorbanannya bisa diteladani para generasi penerus bangsa Indonesia serta patriotisme dan nasionalismenya terhadap Indonesia juga ditiru dan diikuti masyarakat Indonesia.