Kemudian sesaat setelah kelulusannya dari sekolah intelijen tersebut, Tendean ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat atau DIPIAD. Penugasannya tersebut menempatkan dirinya sebagai mata-mata ke Malaysia dengan tugas memimpin sekelompok relawan di beberapa untuk menyusup ke Malaysia untuk mengatasi konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia.
Karir Tendean kemudian mengalami peningkatan saat dirinya dipromosikan menjadi Letnan Satu Czi pada tanggal 15 April 1965. Penugasan pertamanya sebagai letnan satu adalah menjadi Ajudan Jenderal Besar Tentara Nasional Indonesia atau TNI, Abdul Haris Nasution yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia menggantikan Ajudan sebelumnya, Kapten Kav Adolf Gustaf Manullang yang gugur saat menjalankan tugas dalam misi perdamaian di Kongo tahun 1963.
Semasa tugasnya sebagai Ajudan Nasution, Tendean kerap kali menjadi sorotan terutama kaum wanita karena wajah Indonya yang tampan. Hal tersebut biasanya terjadi saat Nasution memberi ceramah atau seminar di lembaga maupun universitas tertentu. Hingga ada istilah yang berlaku saat itu yang mengatakan bahwa telinga mereka untuk Pak Nas, tetapi mata mereka untuk ajudannya.
Termasuk salah satu kenangan terakhir Nasution bersama Tendean yang terjadi sepekan sebelum G30S atau sekitar tanggal 23 September 1965. Saat itu Tendean bertugas mendampingi Nasution yang memberikan ceramah kepada satu batalyon Resimen Mahasiswa Mahawarman di kampus Universitas Padjajaran. Nasution mengatakan saat itu Tendean yang berparas ganteng terus menjadi sasaran kerumunan para mahasiswi.
Tidak ada yang menyangka bahwa tanggal 1 Oktober 1965 menjadi hari terakhir bagi Tendean. Pada dini hari di tanggal tersebut, pasukan Resimen Cakrabirawa yang merupakan pasukan Gerakan 30 September atau G30S mendatangi rumah dinas Nasution dengan maksud untuk menculik Jenderal Besar tersebut. Tendean yang saat itu sedang terlelap di ruang belakang rumah dinas Nasution terbangun saat mendengar suara tembakan dan keributan di bagian depan rumah.
Tendean pun kemudian mengorbankan dirinya dan mengakui bahwa dirinya adalah Jenderal Nasution. Pasukan G30S pimpinan Pembantu Letnan Dua atau Pelda Djahurup pun kemudian menangkap Tendean dan membawanya ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya untuk dikumpulkan bersama-sama dengan enam perwira tinggi lainnya, Soeprapto, Soetojo dan Parman yang masih hidup saat itu, serta Ahmad Yani, D. I. Panjaitan, dan M. T. Harjono yang sudah tewas dibunuh.
Menurut penuturan anggota Resimen Cakrabirawa bernama Supandi, Tendean kemudian disuruh berjongkok dan ditembak di belakang kepalanya sebanyak empat kali. Tubuhnya yang berlumur darah kemudian diseret dan dibuang ke sebuah sumur tua bersama keenam jasad perwira tinggi lainnya. Tindakan heroik Tendean menyelamatkan nyawa Nasution yang berhasil melarikan diri.