Saat Moerdani kembali ke Indonesia di tahun 1961, ABRI sedang mempersiapkan diri untuk mengambil alih Irian Barat. Moerdani pun mendapat tugas pertamanya dengan melatih pasukan terjun payung yang semestinya mendarat di belakang garis musuh dan menyusup. Setelah berbulan-bulan pasukan infanteri tidak membawa hasil nyata, maka Moerdani di bulan Mei 1962 ditugaskan memimpin penurunan pasukan terjun payung yang terdiri dari Kostrad dan tentara RPKAD.
Moerdani pun memimpin pasukannya dalam berbagai pertempuran melawan pasukan Angkatan Laut Belanda setelah mendarat di Irian Barat akhir Juni 1962. Upaya Moerdani tersebut membuahkan hasil saat PBB turut campur di bulan Agustus 1962 dan memutuskan Irian Barat diberikan ke Indonesia. Moerdani pun diberi tanggung jawab atas semua pasukan gerilya di Irian Barat setelah adanya gencatan senjata.
Moerdani kembali ke Jakarta tahun 1964 dan atas prestasinya dalam pembebasan Irian Barat, Presiden Soekarno bermaksud merekrutnya menjadi Ajudan Presiden serta menikahkan dirinya dengan salah satu putri Soekarno. Akan tetapi Moerdani menolak kedua penawaran Presiden Soekarno tersebut.
Di tahun yang sama, Moerdani beserta Batalyon RPKAD ditugaskan ke Kalimantan untuk bertempur melawan tentara Malaysia dan Inggris dalam perang gerilya menangani konfrontasi Indonesia-Malaysia. Namun Moerdani tidak mau menghabiskan waktu terlalu lama di Kalimantan dan memutuskan balik ke Jakarta bulan September.
Moerdani kembali bimbang dalam memutuskan arah karirnya di militer, antara menjabat menjadi komandan teritorial di Kalimantan atau menjadi atase militer. Moerdani pun memutuskan menjalani karir militernya sebagai atase militer di Beijing. Kemudian di akhir tahun 1964 Moerdani diundang ke pertemuan perwira RPKAD yang bertujuan membahas penghapusan tentara cacat dari RPKAD yang ditentang Moerdani.
Keberatan Moerdani didengar Ahmad Yani yang menjabat Panglima Angkatan Darat yang kemudian memanggil Moerdani dan menuduhnya melakukan pembangkangan. Hasil pertemuan tersebut adalah perintah Yani agar Moerdani pindah dari RPKAD ke Kostrad. Tanggal 6 Januari 1965 Moerdani pun mematuhi perintah tersebut dan menyerahkan komando batalyon RPKAD.
Posisi pertamanya di Kostrad adalah sebagai perwira Operasi dan Biro Pelatihan. Namun peruntungannya berubah saat Letnan Kolonel Ali Moertopo selaku Asisten Intelijen Komando Tempur 1 yang mengakui potensi Moerdani saat operasi pembebasan Irian Barat. Ali kemudian merekrut Moerdani menjadi Wakil Asisten Intelijen yang merupakan pengalaman pertama kerja intelijen baginya. Moerdani juga sekaligus menjadi bagian dari tim intelijen Operasi Khusus atau Opsus yang bertugas mengumpulkan berbagai informasi intelijen di Malaysia dari Bangkok dimana dirinya menyamar menjadi penjual tiket Garuda Indonesia.
Tujuan Intelijen Komando Tempur 1 adalah menginvasi Malaysia dan upaya mereka memuncak tanggal 11 Agustus 1966 saat penandatanganan kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk menormalkan hubungan kedua negara tersebut.
Moerdani tetap tinggal di Malaysia sebagai charge d’affaires dengan tugas pertama menjamin pembebasan tentara Indonesia serta para pejuang gerilya yang ditangkap selama konfrontasi. Saat penugasannya di Malaysia di Maret 1968, Moerdani menjabat kepala Konsulat Indonesia di Malaysia Barat sekaligus menjadi bagian dari Opsus yang bertugas mengawasi kejadian dalam Perang Vietnam. Menjelang akhir tahun 1969, Moerdani dipindahkan menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Korea Selatan dimana statusnya kemudian ditingkatkan pada tahun 1973 menjadi charge d’affaires.
Karir diplomatik Moerdani berakhir saat terjadi Peristiwa Malari di Jakarta bulan Januari 1974 dimana Moerdani dipulangkan kembali ke Jakarta seminggu setelah peristiwa itu terjadi. Saat itu Presiden Soeharto mengangkat dirinya menjabat sebagai Asisten Intelijen Menteri Pertahanan dan Keamanan, Asisten Intelijen Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib, Kepala Pusat Intelijen Strategis atau Pusintelstrat serta Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara atau Bakin yang merupakan posisi-posisi dengan banyak kekuasaan.
Saat terjadi dekolonisasi Timor Timur di tahun 1975, Moerdani sangat terlibat dengan mengirimkan tentara Indonesia berkedok relawan menyusup ke Timor Timur pada bulan Agustus 1975. Namun semua operasi intelijen dihentikan saat Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Timur tanggal 28 November 1975 dan digantikan dengan operasi militer bernama Operasi Seroja dimana Moerdani terus terlibat sebagai perencana invasi.