Berbalik Dari Pro-Belanda Menjadi Pro Republik
Segera setelah perang, Belanda mengambil alih kekuasaan di Papua dari tangan pasukan Sekutu. Silas Papare pun ditugaskan untuk kembali ke Serui dan menjadi Kepala Perawat disana. Pada masa ini, beliau masih berpandangan bahwa tidak seharusnya Papua bergabung dengan Republik Indonesia yang kala itu baru menyatakan kemerdekaannya karena menurutnya, pemerintah Republik Indonesia khususnya yang berada di pulau Jawa terlalu “membungkukkan diri” dan tunduk kepada pemerintahan Jepang sementara terhadap masyarakat Papua sendiri mereka bersikap represif.
Meski demikian, ia tetap melakukan kontak dengan tokoh – tokoh pro-kemerdekaan Indonesia seperti Marthen Indey, Corinus Krey, karena tuntutan pekerjaan sebagai Kepala Perawat di rumah sakit di Serui.
Pada pertengahan bulan Desember 1945 Belanda mencium rencana pemberontakan yang akan dilakukan oleh kelompok pro-Indonesia yang berencana akan menyerang posisi pasukan militer Belanda pada hari Natal 25 Desember 1945. Akhirnya, Belanda, dengan taktik nya yang menyebarkan rumor bahwa kelompok pasukan yang beragama Muslim akan berusaha menyerang desa-desa yang penduduknya beragama Kristen, guna memecah konsentrasi pasukan pemberontak sekaligus meningkatkan moril pasukan KNIL yang akan digunakan untuk mempertahankan kekuasaannya di tanah Papua, berhasil melancarkan serangan terhadap kedudukan kelompok pro-Indonesia dan menangkap sebanyak 250 orang yang dicurigai terlibat dalam gerakan untuk melawan pemerintah pendudukan Belanda tersebut.
Diantara para tokoh yang tertangkap, nama Silas Papare juga turut serta. Akhirnya, ia beserta beberapa tokoh lain seperti Atmoprasojo, Corinus Krey, Marthen Indey ditangkap dan dikirim ke penjara di Hollandia (kini Jayapura). Serangkaian kejadian tersebut, membuat pemerintah pendudukan Belanda memutuskan mengirim Frans Kaisiepo, untuk menjadi wakil Papua dalam Konfrensi Malino dalam rangka membentuk Negara Indonesia Timur, yang kemudian menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat. Keputusan ini membuat Silas Papare akhirnya merubah pandangannya dari Pro-Belanda menjadi Pro-Indonesia.
Pasca gagalnya serangan Panggoncang Alam (tokoh dari Minangkabau) pada 17 Juli 1946 untuk membebaskan Atmoprasojo dan seluruh tawanan yang ditangkap KNIL dengan cara melucuti senjata KNIL dan menyerang instalasi vital di area Hollandia (Jayapura) saat itu, dan melihat adanya potensi keterlibatan Silas Papare dan Marthen Indey dalam gerakan tersebut, akhirnya pemerintah Belanda memutuskan untuk mengasingkan Silas Papare dan Marthen Indey ke Serui. Di Serui, ia bertemu dengan Sam Ratulangi yang telah tiba disana sejak bulan Juni 1946.
Kedekatannya secara emosional dengan Sam Ratulangi karena ia adalah seorang praktisi medis, yang sejalan dengan latar belakang Silas Papare sebagai seorang perawat, menjadikan padangan politiknya semakin anti dengan Belanda pada waktu itu, disamping rasa sakit hatinya akibat tidak dikirim ke Konfrensi Malino. Bersama Sam Ratulangi, beliau kemudian mendirikan sebuah partai yang diberi nama Partai Kemerdekaan Indonesia Irian atau PKII. Sam Ratulangi banyak berperan sebagai penasehat umum pada partai tersebut, yang kemudian tumbuh menjadi partai politik terbesar di wilayah Papua Barat pada saat itu.