Meskipun secara aerodinamis luar biasa, MiG-29 tidak mempunyai instrumen kokpit modern, avionik canggih dan sistem kontrol fly-by-wire. Para pilot MiG-29 memerlukan waktu lebih banyak untuk memandang jarum jarum instrumen di kokpit dari pada pilot pesawat tempur barat sekelasnya yang memiliki HUD modern, layar display terintegrasi dan throttle yang terintegrasi pada stik kendali. Tentu saja kelemahan ini kemudian diperbaiki di versi versi terakhir.
Dengan teknologi elektronika Soviet era 70an yang sedikit tertinggal dari Barat, demikianlah juga sistem elektronika di MiG-29 ini. Sensor yang dibawa MiG-29 kualitasnya tergolong dibawah pesawat barat dikelasnya. Radar pulse-doppler N019 Phazotron-nya memiliki jangkauan akurat yang lebih pendek daripada rudal yang dibawa oleh MiG-29. Radarnya hanya mampu mendeteksi bomber (non stealth) di jarak 90 km dan pesawat tempur (non stealth) di jarak 70 km. Itupun baru mendeteksi, belum mengunci. Meskipun dilengkapi dengan sensor inframerah (IRST), pilot eks Jerman Timur melaporkan bahwa efektivitasnya terbatas sekali. Karena itulah walau kuat dalam pertempuran WVR, pesawat ini lemah dalam menghadapi lawan BVR.
Keterbatasan ini sebagian merupakan kesengajaan, mencerminkan doktrin tempur Soviet di mana pilot selalu dipandu dalam setiap pergerakannya oleh GCI/pengontrol darat. Hal ini tentu membuat situational awareness mereka menjadi kurang prioritas. Kurangnya elektronik modern inilah yang akhirnya membuat Angkatan Udara Jerman memensiunkan dini Fulcrum-nya, dan menjual seluruhnya ke Polandia seharga 1 Euro per pesawat. Hal ini tetap dilakukan meskipun sebenarnya MiG-29 jauh lebih gesit daripada F-4 dan Tornado mereka.
Keterbatasan utama lainnya adalah jangkauan MiG-29 yang terbatas. Radius tempurnya hanya berkisar antara 500 hingga 700 Km saja dengan bahan bakar internal, tergantung flight profilnya. Artinya, jika ada MiG-29 ber-home base di Jakarta dan digunakan menyerang sasaran darat, maka Fulcrum tersebut dapat menyerang sejauh Semarang maksimal Ngawi. Kemudian MiG-29 juga tidak dilengkapi dengan kemampuan pengisian bahan bakar di udara. Hal ini lagi lagi merupakan cerminan doktrin Soviet yang menempatkan pesawat tempur di garis depan, sehingga urusan bahan bakar selalu diharapkan bisa kembali ke markas sementara.
Hal itu membuat Fulcrum mungkin menjadi pilihan pesawat tempur untuk negara yang kurang kaya, dan memiliki wilayah yang kecil serta yang khawatir tentang konflik di perbatasannya. Sebaliknya MiG-29 Fulcrum menjadi kurang menarik bagi angkatan udara yang melindungi wilayah luas (seperti Indonesia) atau ingin memproyeksikan kekuatan dari jarak jauh.
Terakhir, seperti kebanyakan pesawat tempur era Soviet, sementara MiG dirancang untuk bertahan dalam pemakaian yang kasar. Dan dengan doktrin Soviet yang menekankan pada penggunaan pesawat cadangan, MiG-29 tidak dibuat untuk memiliki masa pakai yang lama. Versi awalnya hanya memiliki dua ribu lima ratus jam terbang dibandingkan dengan enam sampai delapan ribu jam terbang yang khas dari pesawat tempur AS, bahkan kemudian selalu bisa diperpanjang dengan MLU. Konsep Soviet, jika pesawat sudah worn-out dan habis jam terbang, maka dikembalikan ke depo garis belakang dan kemudian mendatangkan pesawat cadangan. Mungkin karena doktrin inilah, jaman dulu kita pernah punya 49 pesawat MiG 17 dalam 1 skadron di skadron udara 11. Sebagian besar untuk cadangan. Pesawat rusak, ya ganti baru dengan cadangan. Beda dengan doktrin Amerika yang melakukan perawatan bertahap mulai dari level skadron.
Airframe pesawat MiG-29 dapat memburuk dengan cepat ketika jam terbang bertambah, dan pastinya membutuhkan perawatan yang ekstensif serta mahal untuk tetap terbang. Angkatan Udara Malaysia konon pernah melaporkan menghabiskan 5 juta USD per tahun per MiG-29 agar tetap dapat diterbangkan, walaupun disana ada pusat pemeliharaan yang dibuatkan oleh Rusia.
Paling tidak saat ini sudah lebih dari 1.600 MiG-29 telah diproduksi dalam berbagai varian. Awalnya, MiG-29 Fulcrum tersedia hanya dalam beberapa varian awal. Versi kursi tunggal standar (MiG-29A) sebagai versi utama, versi trainer dengan kursi ganda (MiG-29UB) tanpa radar dan dilengkapi periskop di kursi instruktur, terakhir versi monkey model yang dijual ke luar negeri (MiG-29B).
Pada akhir 80-an, munculah versi MiG-29S yang punya sistem jamming aktif di belakang kokpit (membuatnya tampak bungkuk), sistem komputer dan avionik yang lebih baik, kapasitas bahan bakar yang lebih banyak serta peningkatan kemampuan gotong senjata. Dukungan untuk rudal R-27E dan R-77 terbaru juga telah ditambahkan.
MiG-29 merupakan pesawat yang sudah mengalami beberapa pertempuran udara sungguhan. Sayangnya, pada sebagian besar pertempuran udara tersebut, MiG-29 berperan sebagai pesawat yang tertembak dan kalah.
MiG-29 pertama kali mengalami pertempuran udara ke udara di Suriah. Dua buah pesawat MiG-29 milik Angkatan Udara Suriah yang baru datang 1987 dibabat oleh F-15 milik Israel di tahun 1989.
Kemudian selama Perang Teluk pertama di tahun 1991 total 5 MiG-29 milik Angkatan Udara Irak juga menjadi korban perang. Kelimanya menjadi korban pesawat tempur F-15 milik Angkatan Udara Amerika.
Dalam perang Ethiopia melawan Eritrea di tahun 1999, sekitar 4 buah pesawat tempur MiG-29 milik Angkatan Udara Eritrea ditembak jatuh oleh pesawat tempur Sukhoi Su-27 milik AU Ethiopia. Sebagai gantinya, MiG-29 Eritrea juga pernah menjatuhkan Sukhoi Su-25 dan MiG-21 milik AU Ethiopia.
Sewaktu perang Kosovo 1999 pun, total 6 MiG-29 Serbia ditembak jatuh oleh pesawat pesawat tempur NATO. MiG-29 hasil pembelian tahun 1987 tersebut tiga ditembak jatuh oleh F-15 USAF, satu MiG-29 jatuh ditembak oleh F-16 USAF dan satu menjadi korban F-16A Block 10 AU Belanda.
Pada 2008, sebuah MiG-29 milik AU Rusia terekam kamera drone Hermes 450 milik AU Georgia ketika pesawat tersebut menembakkan rudalnya pada drone tersebut dari jarak cukup dekat. Rusia menolak klaim tersebut.
Ironisnya, MiG-29 yang lahir dan dibesarkan untuk melawan pesawat tempur NATO, setelah berakhirnya perang dingin sejumlah besar MiG-29 justru menjadi bagian dari kekuatan udara NATO. Pada suatu waktu, Polandia mempunyai 38 MiG-29, Bulgaria mempunyai 19 MiG-29 dan Slovakia mempunyai enam MiG-29. Semuanya aktif dalam latihan latihan serta operasi udara Angkatan Udara NATO seperti operasi udara di atas laut Baltik.
Rusia sendiri saat ini sedang memasarkan versi terkini dari MiG-29 berkursi ganda, yang dinamakan MiG-35. Namun, justru Russia sendiri memutuskan untuk lebih memilih merefurbish armada MiG-29S nya menjadi MiG-29SMT dari pada membeli MiG-35. Well, tampaknya masalah budget masih menghantui.
Jadi, bagaimana komentar pembaca mengenai pesawat tempur MiG-29 Fulcrum ini?
– disadur dari https://nationalinterest.org/feature/russias-mig-29-fulcrum-super-fighter-or-super-failure-17054