Biasanya ketika sedang memburu badai, WC-130J akan terbang pada ketinggiaan 10.000 kaki dan begitu melihat pergerakkan badai langsung mengikutinya. Pergerakkan badai selanjutnya dianalisa kecepatan, tekanan udara, dan arah pergerakkannya. Tugas WC-130J baru berakhir setelah pergerakkan badai berhenti. Selama mengamati badai, infomasi yang kemudian diberikan ke pusat kontrol di darat akan sangat membantu pada langkah apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi datangnya badai itu.
Di dalam kokpit, tugas pilot selain mengendalikan pesawat juga mengamati data perkembangan badai pada layar radar monitor khusus Color Multifunction Displays (MFD). Bagi pilot info itu penting demi kepentingan keselamatan penerbangan mereka. Pesawat WC-130J sendiri telah dilengkapi radar penangkap cuaca tapi tujuannya bukan untuk menghindari datangnya badai. Potensi badai yang datang justru dihadang dan kemudian diikuti pergerakkannya.
Bagi orang awam yang suka mengamati manuver WC-130J, kadang heran karena Hercules itu justru mengikuti pergerakan badai bukan malah menghindarinya. Namun yang pasti kehadiran Hurricane Hunters b3rd makin melengkapi organisasi pemburu badai yang telah ada di AS seperti Typhoon Chasers (AU AS), Typhoon Trackers (AL AS), National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), serta NASA.
Selama keberadaannya dalam tugas memburu badai, baru sekali seri WC-130 Series ini kehilangan pesawatnya dalam badai. Pada 12 Oktober 1974, sebuah WC-130H Hercules yang masih baru, milik 54th Weather Reconnaissance Squadron, unit serupa 53rd yang berpangkalan di Guam, hilang ketika mengamati Topan Bess. Hingga saat ini, awak dan pesawat tidak pernah ditemukan. Kejadian ini adalah satu satunya kejadian dimana sebuah WC-130 series jatuh di operasional.
Di Indonesia, tampaknya belum ada satuan skadron khusus yang bertugas memburu badai ataupun melakukan wheater reconnaissance.