Penghentian pengiriman sparepart dan maintenance dari Uni Soviet pascakudeta 1965 membuat alutsista buatan Uni Soviet menurun kapabilitas dan operasionalnya. Bahkan dalam beberapa kasus, peralatan alutsista tersebut sampai tidak dapat digunakan dan di grounded.
Tercatat dalam sebuah memo CIA, Indonesia diketahui pernah menjual sebuah destroyer kelas Skory, sebuah LST (eks-RI Teluk Pariji?), sebuah gunboat dan sebuah salvage ship ke scrapyard di Jepang seharga 250 ribu Dollar di tahun 1970. Harga pembelian kapal kapal tersebut dari Uni Soviet diperkirakan sekitar 7 Juta Dollar.
Indonesia pernah mengajukan permintaan pembelian sparepart alutsista tersebut ke Uni Soviet setelah peristiwa 1965. Namun Uni Soviet menolak menjual dan meminta Indonesia untuk melunasi hutang hutang pembelian alutsista nya terlebih dahulu. Akhirnya pada perundingan di bulan September 1967 Uni Soviet bersedia menjual sparepart dan harus dibayar cash. Uni Soviet menolak memberikan kredit sebagai mana biasanya sebuah pembelian alutsista dilakukan. Syarat utama diberikan. Penyelesaian Hutang Pembelian Alutsista Era 60-an Indonesia Kepada Uni Soviet.
Di bidang lain, terdapat pula hutang untuk pembangunan jalan, pembuatan pabrik baja di Cilegon (cikal bakal PT Krakatau Steel – saat 1965 belum selesai), pabrik superphospat di Cilacap, pembangunan stadion di Senayan, pembangunan reaktor nuklir mini di Serpong, pembangunan sekolah maritim di Ambon dan beberapa proyek lain. Kredit kredit tersebut rata rata memiliki jangka waktu 12 tahun setelah grace period dan memiliki bunga 2,5%.
Di tahun 1965 tersebut total hutang pembelian alutsista Indonesia ke Uni Soviet yang harus dilunasi masih ada sekitar 800 juta Dollar. Di bulan November 1966, Indonesia pernah berunding dengan Uni Soviet tentang masalah penjadwalan hutang, namun tampaknya belum tercapai kata sepakat.