Di Indonesia, masalah penawaran hibah pesawat tempur Mirage 2000 dari Qatar ini dilimpahkan ke Kementerian Pertahanan Republik Indonesia untuk dipelajari dan ditelaah lebih lanjut.
Namun pada akhirnya, Menteri Pertahanan Republik Indonesia waktu itu, Juwono Sudarsono memutuskan untuk menolak tawaran hibah tersebut. Tawaran itu ditolak karena minimnya anggaran yang tersedia untuk perawatan. “Hibahnya sih oke, tapi pemeliharaannya itu mahal,” kata Juwono di kantornya, Departemen Pertahanan Jakarta 19 Maret 2009.
Saat itu Juwono mengatakan, bahwa bila dilihat sepintas lalu saja sudah bisa dipastikan bahwa hibah pesawat buatan Prancis tahun 1994 ini akan membutuhkan banyak biaya. Padahal pagu anggaran Departemen Pertahanan dan TNI AU tahun itu sudah tak memungkinkan lagi untuk itu.
Apalagi fokus pemeliharaan saat ini ditujukan pada pesawat angkut, seperti untuk menghidupkan dan mengoperasionalkan dua skadron C-130 Hercules yang kita miliki. Belum lagi melakukan pembayaran atas order penambahan pesawat tempur Sukhoi Su-30 yang kita baru saja beli. Selain itu, kata Juwono, hibah itu bukan berarti tak ada biaya sama sekali.
Jika kita mengambil tawaran hibah satu skadron pesawat tempur Mirage 2000 untuk TNI AU tersebut, dipastikan akan ada biaya untuk MidLife Upgrade guna memperpanjang usia pakai pesawat dan juga melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap kondisi pesawat yang dihibahkan. Maklum, usia rata rata pesawat tempur yang ingin dihibahkan tersebut di 2009 berkisar antara 12 hingga 15 tahun.
Kemudian, karena Mirage 2000 ini tidak bisa digunakan untuk membawa rudal rudal eksisting yang kita miliki, maka harus dianggarkan kembali anggaran khusus untuk membeli rudal rudal semacam MBDA Mica, Matra R550 Magic II dan Matra Super 530D. Masakan mau dipersenjatai dengan bom Mk. 82 dan kanon saja.