Namun pada April 2019, 5 bulan setelah S-300 diantar dan pelatihan dimulai, pelatihan kru S-300 masih belum selesai dan S-300 masih belum siap operasional 5 bulan setelah diantar. Padahal kru asal Suriah sebelumnya sudah fasih dengan sistem rudal pertahanan udara buatan Rusia. Mulai dari SA-2, Pechora, S-200, Tor-M1 dan hingga Pantsir.
Jika personel Suriah yang sudah fasih dengan teknologi Rusia membutuhkan waktu lebih dari 5 bulan untuk berlatih mengoperasikan sistem rudal anti serangan udara S-300 ini, bagaimana dengan negara yang sebelumnya tidak pernah (atau sudah lama tidak) mempergunakan sistem rudal pertahanan udara buatan Rusia, misalnya katakanlah Indonesia?
Bagaimana juga dengan negara yang melakukan pembelian crash program karena negara dalam keadaan genting, misalnya seperti yang kita lakukan dalam Trikora dulu? Sistem yang tidak bisa dipakai dengan segera tentu saja tidak berguna dalam keadaan genting seperti itu.
Bagaimana pun juga, diamnya S-300 bisa jadi juga karena berhasilnya diplomasi bujuk rayu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Presiden Rusia Vladimir Putin. Pada pertemuan dadakan setelah kejadian tertembaknya Il-20, Putin dan Netanyahu menyetujui suatu langkah pengamanan khusus yang mewajibkan Israel memberitahu Rusia 15 menit sebelum setiap kali akan melakukan serangan udara ke wilayah Suriah.
Pada perjanjian antara keduanya sebelum kejadian tertembaknya Il-20, Israel hanya wajib memberitahukan setiap serangan yang dilakukannya kepada Rusia tanpa batas waktu tertentu. Yang kemudian oleh Israel diterjemahkan dengan memberi tahu Rusia persis pada saat terjadinya serangan. Hal yang Rusia protes karena tidak mempunyai waktu untuk memastikan keamanan aset asetnya ketika serangan udara berlangsung.
Fakta bahwa S-300 Suriah tidak melakukan apa apa pada malam serangan udara Israel tersebut menunjukkan bahwa penggunaan sistem rudal anti pesawat S-300 milik Suriah membutuhkan persetujuan penjualnya, Rusia. Rusia nampaknya enggan sistem S-300 nya digunakan untuk menembak jatuh pesawat tempur milik Israel.
Namun jika benar bahwa penggunaan senjata pertahanan diri semacam S-300 membutuhkan persetujuan Rusia, maka Rusia sama sekali tidak ada bedanya dengan Amerika Serikat. Bahkan mungkin lebih buruk.
Amerika Serikat selama ini terkenal melarang penggunaan senjata buatannya untuk aksi aksi diluar upaya mempertahankan diri terhadap serangan asing. Termasuk dalam hal ini adalah, penggunaan alutsista buatan Amerika Serikat untuk mengatasi pemberontakan dalam negeri bagi beberap kasus. Tapi, selama ini Amerika Serikat tidak pernah melarang penggunaan senjata buatannya terhadap serangan pihak asing dalam rangka mempertahankan diri.
Pertama, saya sesungguh nya penggemar alutsista rusia, namun sesuai dengan artikel diatas, membuat saya sangsi pada kualitas kecanggihan tehnologi rusia.
1. Alasan alasan yg di katakatan bahwa S300 suriah belum siap, adalah upaya membalik fakta, dlmna sesungguhnya kamampuan tehnologi rusia tidak mampu mengimbangi tehnologi Israel.
2. Sejak Saya 300 berasa di suriah, kita belum pernah mendengar bahwa Semua 300 berhasil mengalahkan atau menembak rudal atau pesawat tempur Israel.